13.

25.8K 2.9K 72
                                    







Nevan mengenakan setelan jas kantornya. Wajah tampan Stev begitu masam. Setelah sadar dari keterkejutan, Nevan langsung bergegas ke atas dan membersihkan diri.

Jam sudah malam, tetapi Nevan tak pedul, dia sakit hati. Untuk saat ini, Nevan tak ingin bertemu dengan anak Stev.

Jika memiliki anak modelan seperti Henry. Bagus anaknya mati sejak dini. Bagus dia menjadi duda tanpa anak. Bagus dia kubur harapan ingin memiliki anak.

Tak bisa di jelaskan bagaimana perasaannya sekarang. Sedih, marah, kesal. Entahlah ... Yang pasti, semuanya bercampur jadi satu.

Menurut Nevan, sebrengseknya Stev. Pria itu tak sampai bermain tangan. Stev hanya mengabaikan dan tak mengingat ketiganya. Jadi, Henry tak ada hak untuk meludahi wajah Stev hanya karena kesal.

Makin kesini, Nevan semakin tak peduli akan berjalannya Alur. Bagaimana mungkin dia memikirkan hal itu ketika hidupnya jauh lebih memprihatinkan.

Dia benci ketika semua tak berjalan lancar seperti yang dia inginkan.

Nevan tak suka ... Dia ingin marah. Tetapi, pada siapa?



.



"Bang."

Ketika pertama kali membuka mata, Darren melihat keberadaan Henry yang menatapnya khawatir. Ia menggenggam tangan Henry erat seakan memberitahukan pada abangnya itu jika dia baik-baik saja.

Henry yang melihat itu pun langsung bertanya, "Bagaimana keadaanmu?" sembari memegang tangan Darren, mengelus punggung tangan adiknya.

Dia tak memanggil dokter karena ini memang sudah malam. Meski keluarganya memiliki dokter pribadi, namun cukup mengerti jika seorang dokter butuh istirahat.

Tak nyaman bila dirinya harus memanggil dokter malam-malam

"Kepalaku berat, badanku lemas," lirih Darren. Pandangannya sayu. Badannya benar-benar lemas dan tak bertenaga. Dirinya tak menyangka jika menangis hingga tubuhnya berakhir demam.

Darren memegang dahinya yang terdapat handuk basah dengan tangan yang bebas.

"Apa yang di lakukan bajingan itu Darren?!" desis Henry. Memandang wajah pucat sang adik, kemarahan Henry pun kian muncul.

Darren mengernyitkan alis, "Maksud abang?"

"Apa yang di lakukan ayah padamu hingga kamu menangis sampai demam?" tanyanya lagi, nadanya sedikit melembut. Tangannya beralih mengambil handuk basah itu dan di gantikan dengan handuk kering.

Melihat keterdiaman sang adik membuat Henry menghela nafas. "Katakan saja. Aku sudah memberi pelajaran padanya."

"Jangan ada yang di sembunyikan. Aku kecewa dengan ayah yang membuatmu seperti ini," ungkap Henry. Dirinya sangat khawatir dengan keadaan sang adik.

"Maksud abang ini apa?" bingung Darren. "Ayah melakukan apa?" dirinya sungguh di buat bingung oleh ucapan sang abang. Lagi, memberi ayahnya pelajaran?

Hening seketika sampai Darren melototkan mata. "Abang, jangan bilang kalo kamu salah paham?"

Kali ini, Henry yang di buat bingung. "Apa maksud kamu. Salah paham?"

"Bang, aku demam karena diriku sendiri. Aku emang sudah tak enak badan dari kemarin. Tetapi tetap aku tahan. Tadi aku menangis karena ayah pulang bersama Satrio. Keadaan ayah kacau, dia tengah mabuk," jelas Darren. Karena memang benar adanya jika dirinya sudah tak badan sejak kemarin.

Dia tak menyangka dengan menangis akan membuatnya demam seperti ini.

"Ayah sama sekali tak menyentuh atau bahkan berkata kasar padaku. Aku sendiri yang merasa cemburu karena kedekatan ayah dengan Satrio."

Pernyataan itu membuat badan Henry membeku. "Apa yang.."

"Abang ga ngelakuin sesuatu yang berlebihan kan?"

*

Nevan diam di dalam mobil yang melaju ke arah Mansion megahnya. Dia duduk di samping kemudi, dimana Kinsley menyetir untuknya.

Entah karena apa, anak yang benci padanya itu mau menjemput dirinya.

Ketika ia bekerja, Kinsley masuk. Dia berucap tanpa bersuara. Menyuruh Nevan untuk pulang. Nevan awalnya tak peduli. Tetapi Kinsley menunggu hingga 2 jam kemudian yang mengharuskan Nevan terpaksa pulang.

Tak nyaman rasanya ketika kau bekerja, ada satu pasang mata yang menatap tajam dirimu. Seolah mata itu siap melubangi tubuhmu kapan saja.

Nevan menghela nafas. "Rupanya sudah tiga hari," gumamnya.

Yah, sudah 3 hari sejak hari itu, Nevan sengaja menyibukkan dirinya di kantor. Kembali menjadi Stev yang awal saat merasa jika yang dia lakukan semuanya tak berguna.

Keadaan hening. Dasarnya Stev dan Kinsley yang sama-sama berwajah datar dan irit bicara. Suasana di dalam mobil membuat siapa saja menahan nafas. Untung saja didalam itu hanya ada dirinya.

Nevan menatap kesamping, membuka jendela kaca dan menikmati terpaan angin pada wajahnya.

Dalam hati dia menyeru, jika ia tak ingin bertemu dengan anak-anak Stev.

Selain dirinya manusia egois, Nevan termasuk orang yang tak gampang melupakan. Dia memang memaafkan, tetapi untuk melupakan itu merupakan hal sulit.

Seseorang yang memiliki salah padanya, akan ia maafkan kesalahan itu. Tetapi untuk kembali bersikap seperti awal, itu akan mustahil.


















Sedikit yang penting lancar ye kan :v



Tbc.

Menjadi ayah tiga anak. ✔ TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang