12.

27.7K 2.7K 81
                                    






Nevan sedang berpikir keras. Dia duduk di sebuah restoran di temani secangkir kopi dan beberapa makanan yang ia pesan. Tak lupa, beberapa beer serta wine ternama dan termahal.

Perutnya masih meronta minta di kasih makan meskipun dia sudah menghabiskan beberapa piring di Mansion. Nevan memutuskan untuk keluar dari rumah setelah mengira jika dirinya sama sekali tak di pedulikan.

"Di pikir lagi, apa yang aku lakukan dari kemarin sih?" gumamnya kesal. "Membiarkan diri sendiri kelaparan?" Nevan melirik ke arah makanan mewah yang dia pesan. Merutuki diri sendiri karena berperilaku seperti bocah.

"Bodoh sekali."

"Aku ini pemilik rumah! Stev punya kuasa!" Nevan mengacak rambutnya kasar. Sial, dia benar-benar bodoh.

Karena kesedihannya di acuhkan buntut Steven, dirinya tak bisa berpikir jernih. Nevan terlarut dalam kesedihan yang menurut dia bodoh. Dia boleh sedih, tetapi otaknya tak harus menjadi bodoh bukan?

Dia di raga Steven Albert, pria dengan segala kemutlakannya. Bukan Nevan dengan segala tingkah manja pada istrinya.

"Om stev?" sebuah suara familiar menyapa. Nevan mendongak untuk melihat siapa dia. "Satrio?"

Pemilik suara yang ternyata Satrio itu tersenyum ke arah Stev, "Iya om, saya Satrio. Om sedang apa? Mengapa sendirian?' pemuda itu celingak celinguk mencari keberadaan dari anak-anak Stev.

"Sendiri."

Jawaban singkat yang Nevan layangkan membuat Satrio mengangguk kan kepala dan hendak pergi. Tetapi Nevan mencegat pemuda itu pergi dengan memanggil namanya.

"Satrio."

Langkah Satrio terhenti, "Iya?"

"Duduk."

Nevan memerintahkan Satrio untuk duduk. Dia pikir sedang memiliki rencana yang bagus untuk kedepannya. Nevan menyuruh Satrio duduk dengan rencana apik yang terlintas di otaknya yang tak seberapa.

Satrio awalnya ragu, tetapi melihat tatapan tak ingin di bantah ayah musuhnya itu membuat dia harus duduk.

"Makan." Nevan menyodorkan sebuah spaghetti pada Satrio yang di terima apik oleh sang empu.

Satrio memakan makannya, sedangkan Nevan meminum wine nya. Dia menatap Satrio picik. Yah, Nevan berpikir... Ia akan menggunakan Satrio sebagai perantara. Nevan akan bersikap lembut pada Satrio, memperlakukan pemuda itu dengan sikap ayah pada anak seperti umumnya.

Nevan akan melihat, apakah buntut Stev akan cemburu atau tetap acuh seperti biasa ketika dia lebih memperhatikan Satrio, musuh dari salah satu putranya.

Bukankah bagus, Nevan menggunakan Satrio sebagai perantara?

Untuk rencana awal, mari berpura-pura mabuk dulu.

Di otak Satrio juga merancang rencana yang sama. Untung baginya mengikuti sang ayah ke restoran yang menurutnya membosankan ini. Dia jadi bertemu dengan ayah sang musuh yang lagi sendirian.

Dalam benaknya Satrio memikirkan rencana untuk mendekati ayah Darren, dan membuat musuhnya itu kesal sampai mati.

Satrio sengaja melewati meja khusus Stev dan menyapa pria itu. Tentu saja dengan niat yang sudah dia pikirkan.

Awalnya Satrio tak berpikir jika itu akan berhasil mengingat bagaimana sifat Stev. Namun, Ayah musuhnya itu malah memanggil dirinya dan menyuruhnya makan.

Sungguh, dia seakan mendapatkan jackpot.

Satrio kemana Spaghetti nya sekali-kali melirik Nevan yang terlihat mabuk. Satrio menyeringai, dia akan menunggu sebentar lagi, sampai ayah Darren itu mabuk total.

*

Darren menatap penuh benci ke arah Satrio yang sedang di peluk oleh sang ayah. Sejak tadi, dia harus menahan kesal, amarah serta rasa cemburu ketika ayahnya datang bersama musuhnya.

Ayahnya yang mabuk total terus menerus memeluk Satrio hingga dirinya kebanyakan minum cuka.

Dalam hatinya berteriak, 'Ayah tak pernah memelukku se erat itu'

"Lebih baik lo pulang, urusan ayah biar jadi urusan gw!"cecar Daren. Dia sedikit menekan kata-katanya berharap Satrio lekas pergi.

Satrio menatap Darren remeh. Pemuda itu berniat berdiri ... Tetapi, Nevan langsung menarik kembali dirinya dan memeluk nya kembali, "Mau kemana anak ayah?" gumam Nevan.

Darren mengepalkan tangannya.

"Ayah lo lengket nih, gimana dong?" kata Satrio memanas-manasi. "Keknya ayah lo lebih sayang ke gw deh dari pada elo," lanjutnya.

Hingga Darren yak tahan dan langsung pergi dari sana. Dia sudah tak tahan dengan adegan itu. Ayahnya tak pernah memeluknya. Dia juga tak pernah melihat ayahnya pulang dengan keadaan mabuk.

Nevan tertawa dalam hati ketika rencananya berjalan mulus. Bergerak gelisah, melepas pelukan Satrio dan tidur di sofa panjang. Dia sengaja, berperilaku seperti orang mabuk, sangat alami.

Satrio menatap Nevan lamat kemudian pergi tanpa pamit. Yah, Nevan tak peduli. Yang penting rencananya lancar.

Jadi biarkan dia tidur sebentar.


.


Lalu? Apa ini?

Nevan linglung. Tubuhnya tersungkur kelantai. Ujung bibirnya sobek dan mengeluarkan darah. Dia mendongak melihat putra keduanya yang di selimuti amarah.

"Kukira ayah berubah! Ternyata ayah masih sama!" berangnya. Matanya menampilkan kilat emosi yang selama ini dia tahan.

Nevan yang bingung, hanya bisa membisu. Dia harus merasakan sakit di punggung akibat benturan dan di bibir yang terluka.

"Apa yang ayah lakukan keterlaluan! Ayah membuat Darren menangis sampai demam!" hardik Henry. Dia sungguh gelap mata ketika datang dari kuliah, dia melihat ayahnya yang tidur di sofa. Sedangkan adiknya yang tengah demam di kamarnya meringkuk sendirian.

Dia langsung murka ketika wajah adiknya sembab. Tentu saja tanpa dia bertanya Henry tau penyebabnya.

"Salah aku mengira jika ayah berubah. Nyatanya, ayah sama brengseknya seperti dulu, cuih!!" geram pemuda itu dan meludahi sang ayah. Kemudian pergi untuk melihat kembali sang adik yang tengah demam.

Nevan memegang ludah Henry di dahi. Dia masih bingung dengan keadaannya. Dia sedang tidur, kemudian ... Di paksa bangun lalu di pukul dan di hina seperti ini?

Nevan memegang pipinya yang basah.

Dia menangis?



















Mamam .. Yang nungguin molor ga tuh.. Jam satu lewat 52 menit nih boss!


Tbc.

Menjadi ayah tiga anak. ✔ TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang