Dihampiri Kematian

34 37 1
                                    

Setiap harinya sampai beberapa bulan, Rara dan Ratu sangat rajin melaksanakan kegiatan rutinitas kesehariannya dengan hal yang positif. "Ratu...," ucap panggil Rara. Ratu bertanya, "Ada apa?" Rara menghela nafas panjang seraya memberi pesan, "Kalau aku uwes ndak ono di dunya iki maning ... Sampeyan ojo tinggalke ibadah lan aku titipke Ibuku karo sampeyan." Ratu langsung terlihat sedih dan ia menitihkan air mata.

"Raa, ojo bicara kayak ngono. Aku yakin kalau sampeyan panjang umur," ucap Ratu meyakinkan. Rara tersenyum menatap Ratu. "Umur ndak ono sing tahu kecuali Gusti Allah," respon Rara.

Rara memiliki firasat bahwa umurnya tidak akan lama hidup di dunia. "Sampeyan kudu sayang sama Ibuku lan jogo beliau kalau aku uwes ndak ono di dunya maning," ucap pesan Rara. Ratu langsung memeluk Rara.

Tiba-tiba saja, Rara merasa sesak dada. Rara jatuh tersungkur dan wajahnya terlihat begitu pucat. Ratu sangat panik dan dia menenangkan Rara di pangkuannya. "Raa, ojo nakuti aku. Kamu kenapa iso kayak gini? Sadar, Raa. Istighfar sampeyan," ucap lirih Ratu. Rara dengan nafas yang sudah mulai mengecil dan tak teratur dirinya menjawab, "Ojo lali wejanganku untukmu tentang Ibuku ... Aku ora kuat lan jika nyawaku saiki di cabut aku hanya ingin sampeyan memberiku hadiah sebuah doa." Ratu berusaha menenangkan Rara.

Rara hanya bisa menyebut nama Tuhan di setiap nafas yang ia hembuskan dan perkataannya hanya bisa menyebut nama Tuhan.

"Allah... Allah... Allah... Allah... Allah..." Dengan suara yang begitu sesak dan nada pelan, Rara hanya bisa menyebut nama Tuhan. Rara merasakan sakaratul maut, penglihatan ke dua bola matanya sudah mulai ke atas. Tubuh Rara sudah mulai pucat dan kaku, sang Ibu yang baru saja datang ke kamar putrinya langsung terkejut ketika melihat Rara terbaring di pangkuan Ratu. "Kenapa dengan putriku? Sampai kayak ngono," ujar sang Ibu bertanya.

Ratu menjawab, "Ndak tahu, Buk. Awale dia masih sehat tapi ndak lama kemudian langsung terjatuh dan kejang-kejang sesak dada." Sang Ibu sangat khawatir dan panik. Ibu berusaha menenangkan Rara, akan tetapi Rara tidak menggubris perkataan Ibunya yang sudah menenangkan dirinya. Rara hanya mengucapkan nama Tuhan berkali-kali.

Sampai pada akhirnya, Rara berhenti mengucapkan nama Tuhan. Wajahnya tersenyum berseri-seri seperti orang tidur pada umumnya, sang Ibu memastikan bahwa Rara hanya pingsan. Ketika Ibu sedang memegang tangan pada bagian urat nadi Rara, ternyata tidak ada gerakan. "Tubuhne dingin tenan lan mukane pucat pasih," celetuk sang Ibu.

Kemudian Ibu memeriksa pada bagian leher, ternyata sama saja tidak ada gerakan dari urat leher Rara. Selanjutnya, sang Ibu memegang hidung Rara untuk memastikan bernafas atau tidaknya. Namun sayang seribu sayang, Rara sudah tidak bernafas kembali. Ibu yang mengetahui hal itu langsung tersungkur menangis sejadi-jadinya. "Putri kesayanganku," ucap lirih tangisan Ibu.

Ratu berkata, "Sampurane, Buk. Sebelum Rara wafat, dia memberikanku sebuah wejangan." Ibu bertanya, "Wejangan opo?" Ratu menghela nafas perlahan kemudian menjawab, "Rara, menyuruhku untuk tetap tinggal bersama, Ibu. Sekaligus merawat Ibu." Ibunda Rara langsung memeluk Ratu. "Ibu, saiki ndak punya sapa-sapa maning. Sampeyan mau tinggal karo Ibu neng kene?" tanya Ibunda Rara memastikan. Ratu menjawab, "Saya mau lan bersedia sesuai wejangan Rara untuk saya." Ratu dan sang Ibu menangis serta merasa kehilangan sosok Rara.

Ibunda Rara memberikan pesan kepada Ratu. "Nduk, sampeyan tunggu di sini, yak. Ibu, mau ke rumah keluarga besar yang jaraknya lumayan dekat dari sini," pesannya. Ratu merespon, "Yowes, Buk. Ndak apa-apa." Sang Ibu bergegas pergi mengunjungi rumah sanak saudara dan keluarga besarnya yang terletak di belakang rumah.

SUKMA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang