02 - New Attachment

4.7K 483 44
                                    

I'm done carrying the weight of the world,
So heavy on my shoulders.

Entah sudah seberapa sering Shaka bergumam, menjadikan penggalan lagu milik Blake Rose di atas sebagai kalimat yang mewakili hari-harinya. Berat, tentu saja. Shaka tidak pernah mengira bahwa semakin ia bertambah usia, pundaknya justru semakin lemah untuk menopang beban-beban itu.

Sejak kecil, ada banyak hal yang tidak Shaka pahami. Alasan mengapa Ayah selalu memarahinya, alasan mengapa kedua kakaknya selalu berusaha menghindar, dan semua hal yang membuat kepala Shaka penuh. Ia tidak paham mengapa semua ini terjadi, apa karena ia sakit?

Tapi, Jia selalu mengatakan jika Shaka adalah anak yang istimewa. Itulah mengapa Jia begitu protektif. Katanya dunia terlalu luas untuk Shaka arungi seorang diri, jadi biarlah tangan Bunda yang menuntunnya sampai dewasa. Sampai Shaka benar-benar siap berjalan di atas kaki sendiri.

"Kamu yakin mau masuk sekolah hari ini, dek?" Jia bertanya, tangannya mengusap lembut rambut milik Shaka setelah sebelumnya mengapitkan sesuatu pada jari anak itu. "Udah normal sih, tapi istirahat sehari lagi, ya?" Jia kembali bersuara setelah angka pada oxymeter keluar.

"Bunda tau? Di sekolah rasanya aku jadi anak yang sehat," ucap Shaka. "Kepalaku pusing karena kuis dadakan, tenggorokanku kering setelah presentasi, dan semua hal yang gak pernah aku rasain selama homeschooling dulu." Lanjutnya.

"It must have been hard for me. But at least with this, I feel 'normal'. Bunda bisa percaya sama aku, 'kan?" Sambung Shaka, ia meraih tangan Jia, mengusapnya perlahan guna meluruhkan kekhawatiran pada hati wanita itu.

Jia mengangguk pelan, "Tapi, mulai sekarang kamu berangkat dan pulang bareng Gavian, okay? Bunda gak terima penolakan, kalian sekelas."

Belum sempat Shaka mengungkapkan sanggahannya, Jia kembali bersuara. "Bunda percaya sama kamu, tapi gak dengan dunia di luar sana. Setidaknya dengan kehadiran Gavi, kamu sedikit terbantu dan Bunda bisa sedikit lega. Mau, ya? Kamu gak mau Bunda sedih, 'kan?"

Ah, sial. Melihat wajah Jia yang memelas seperti itu membuat Shaka tidak bisa menolak. Ia pada akhirnya pasrah dan menurut. Padahal kemarin Shaka sudah mengibarkan bendera agar anak tetangga itu menghindar darinya, tapi ternyata bekerja sama dengan takdir tidak semudah itu.

***

Pagi-pagi sekali Gavian sudah siap dengan seragam sekolah barunya. Ia bahkan tiba di ruang makan terlebih dahulu, membuat Maya hampir tidak mengenali puteranya sendiriㅡyang biasanya tidak sesemangat ini dalam menimba ilmu.

"Ini baru jam setengah 6, kak. Tumben kamu udah siap buat berangkat," ucap Maya, tangannya masih sibuk dengan tumis kangkung dan olahan sederhana lainnya. Beberapa peralatan dapur belum semua dibereskan, jadi sarapan hari ini seadanya saja.

"Aku belum tau estimasi dari rumah ke sekolah berapa lama. Lagipula bagus kalau aku tiba lebih pagi, jadi bisa keliling dulu." Gavi menjawab, sedangkan Maya kembali melanjutkan kegiatannya. Tak lama setelah itu, Radi maupun Julian turut mengisi kursi yang kosong.

Tidak ada yang spesial dari acara sarapan bersama disana, tapi bagi Gavian ini adalah momen paling ia suka. Sejak kecil, baik Maya maupun Radi, keduanya selalu berusaha menyempatkan waktu untuk sarapan atau makan bersama. Sesibuk apapun mereka.

Gavian tumbuh dengan cara seperti itu, pun dalam lingkungan yang tidak memanjakan dirinya dengan harta, namun mengalirkan begitu banyak kasih sayang. Bahkan setelah kelahiran Julian, Gavi tidak pernah kekurangan atas haknya.

Ia pikir ini adalah hal yang lumrah dan semua anak memiliki keluarga sehangat itu. Tapi, pikiran Gavi tercerahkan sejak bergabung dengan SMB atau Sunday Morning Boysㅡgrup band ecek-ecek yang secara tidak sengaja menjadi rumah kedua baginya.

Blue Butterflies [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang