19 - It Breaks Me More

2.8K 310 15
                                    

Setelah mengonsultasikan pengobatan yang akan Gavian jalani kedepannya, kini anak itu harus kembali bersiap pada efek-efek yang akan ia alami nanti. Walaupun ingatan masa kecilnya samarㅡbahkan hampir sepenuhnya hilang. Tapi, ia tahu bahwa semua ini tidak akan mudah untuk dilalui.

Melihat Ibunya menangis hampir setiap hari, rasanya sangat menyakitkan. Gavi bahkan mengutuk dirinya sendiri yang terlalu lemah sampai sel jahat itu kembali datang, mematahkan prognosis dokter tentang kualitas hidupnya yang meningkat pasca operasi. Sial. Rasanya ini seperti mimpi buruk yang terulang.

Semburat cahaya matahari pagi masuk melalui celah jendela. Gavian tak berniat untuk turun dari ranjang, lagipula tubuhnya terserang demam semalamㅡefek kebanyakan menangisi takdir. Tapi, sesuatu membuat ia tetap bangkit, melangkah perlahan menuju sekat kaca yang masih tertutup gorden.

Bukankah pernah dikatakan sebelumnya jika balkon kamar Gavian dan Shaka itu sangat dekat? Bahkan jika ia nekat, Gavi bisa saja melompat untuk sampai ke seberang kamarnya. Namun, ia urung melakukan itu, bisa-bisa nanti Shaka merajuk satu minggu penuh sebab ada penyusup yang datang.

Mengingat tentang sahabatnya itu, jujur Gavi sangat khawatir. Setelah hari dimana Julian ketahuan hujan-hujanan bersama Shaka, hatinya terus dilanda resah. Apalagi ia kehilangan akses untuk menghubungi tetangganya itu. Jia tidak membalas pesan, pun Shaka yang tidak menunjukkan tanda-tanda online.

Sekelebat pikiran Gavi melayang pada obrolan kedua orang tuanya kemarin malam, katanya "anak tetangga" masuk Rumah Sakit lagi. Sejenak ia berpikir, apakah yang dimaksud itu Shaka?

Benar saja dugaannya. Hari ini, hari dimana Gavi pergi ke Rumah Sakit untuk mempersiapkan diri untuk treatment dan prosedur kemo yang akan segera ia jalani, hari ini juga ia bertemu kembali dengan Shaka. Dengan kondisi yang berantonim dengan kata baik.

Pijakannya terasa melemas, dadanya sesak. Seharusnya ia sudah menduga jika Shaka tengah drop, tapi tak pernah terbayangkan jika kondisi anak itu berada di titik yang mengkhawatirkan. Donor, katanya Shaka membutuhkan itu. Walaupun belum bisa dikatakan urgensi, tapi tidak ada yang bisa menjamin paru-parunya kuat sampai esokㅡatau mungkin beberapa jam ke depan.

Ah, memikirkan kondisi Shaka membuat kepalanya sakit. Padahal dokter sudah mewanti-wanti ia untuk mengurangi stress dan menjaga mood sebelum pengobatan dilakukan. Tapi, rasanya tidak afdol jika ia berbaring dan hanya menikmati rasa sakit. Mengkhawatirkan Shaka seolah menjadi agenda baru yang wajib dilakukan.

"Jangan ngelamun gitu, kak, nanti kesambet lho," ucap Radi. Pria yang Gavi panggil dengan sebutan Ayah itu lantas berjalan mendekat dengan membawa kantung plastik berisi buah-buahan. "Kamu lagi mikirin apa emangnya? 'Kan Ayah udah bilang jangan khawatir, kita semua pasti bakal nemenin kamu selamaㅡ"

"Aku bukan khawatir sama diriku sendiri, Yah." Tukas Gavi. "Aku justru lebih khawatir sama Shaka," lanjutnya.

Ada perasaan aneh yang menggerayangi hatinya saat nama itu disebut. Padahal selama kurang lebih 4 bulan tinggal di rumah baru, Radi tidak pernah merasa setakut ini dengan kata kehilangan. Ia takut kehilangan keutuhan keluarga, takut semua rahasianya terbongkar, takut kehilangan Gavi, dan ... takut kehilangan Shaka.

Setiap kali rasa bersalah itu singgah, Radi selalu ingin mengakhiri hidup dan berhenti merisaukan masa depan. Namun, ia tak bisa. Tujuh belas tahun bukan waktu singkat atas luka yang ia torehkan pada Jia dan Shaka. Walaupun sudah sangat terlambat, tapi Radi berharap ia masih sempat memperbaiki apa yang sudah lama ia biarkan rusak.

"Nah 'kan, sekarang malah Ayah yang ngelamun."

Suara serak Gavi membuyarkan lamunan Radi, kesadarannya kembali ditarik ke kenyataan. "Ah, maaf."

Blue Butterflies [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang