24 - Through The Pain

4.4K 384 43
                                    

"Wah ada apa ini? Kok senyum-senyum sendiri?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Wah ada apa ini? Kok senyum-senyum sendiri?"

Shaka refleks menatap ke arah pintu kamarnya saat suara Jia terdengar. Ia rekahkan senyuman menyambut kedatangan sang bunda beserta semangkuk kecil puding stroberi. Shaka kemudian memperlihatkan isi dari buku yang tengah ia genggam.

"Lagi seneng soalnya wishlist aku satu-satu mulai terwujud." Shaka tampak antusias, membuat Jia turut merasakan bahagia yang sama. Mengingat selama belasan tahun ini puteranya berjuang demi memenuhi keinginan sederhananya itu, Shaka berhak mendapatkan semua ini.

"Gak mau nambah lagi? Masih banyak yang kosong tuh." Seraya menyuapi puteranya puding, Jia bertanya. Shaka sejenak terdiam sebelum akhirnya menggeleng pelan, beralasan bahwa semua itu sudah cukup. "Ayo dong tambah lagi, masa segitu aja? Yakin udah cukup?"

Mendengar hal itu, Shaka jadi berpikir keras.

Sejak kecil, Shaka memang tidak mau membuat banyak wishlist, takut tidak bisa ia penuhi semuanya. Walaupun sebagai manusia, wajar jika berharap pada banyak hal. Bahkan sesederhana berharap besok bisa memakan makanan favorit, tapi itulah yang membuat mereka tetap bertahan hidup.

Dalam keadaan baik saja, Shaka enggan berharap kesembuhan. Apalagi sekarang, saat kondisi paru-parunya tengah drop. Bisa tetap bernapas dari hari ke hari saja sudah menjadi mukzizat yang selalu Shaka syukuri, ia tidak mau berharap lebih dari itu.

"Bun, bunda bangga gak sama aku?"

Jia menatap lama wajah pucat puteranya. Setelah menyimpan mangkukㅡdimana puding di atasnya sudah habis, Jia mengulurkan kedua tangan untuk menangkup pipi Shaka. Ada panas yang menjalar, puteranya masih demam ternyata. "Tanpa kamu tanya itu, seharusnya kamu udah tahu kalau Shaka selalu bikin bunda bangga."

"Bangga kenapa? Shaka 'kan gak punya prestasi apa-apa. Selama di sekolah, Shaka gak aktif dimanapun, gak pernah ikut lomba, gak pernah juara kelas." Matanya bergulir ke bawah, "Dibanding kak Siena atau kak Sadam, gak ada satupun yang bisa dibanggain dari aku."

"Kata siapa?" Jia mengusap pelan pipi bungsunya itu. "Shaka bisa bertahan sampai detik ini aja udah jadi hal paling membanggakan buat bunda, karena gak semua orang bisa sekuat kamu. Kamu mungkin gak bisa jadi kayak Siena atau Sadam, tapi mereka juga mungkin gak bisa sehebat kamu."

"Shaka ... hebat?"

Jia mengangguk dengan yakin. "Shaka itu anak yang hebat, anak yang kuat. Bunda selalu bangga sama kamu."

Berusaha untuk tidak menangis ternyata sulit sekali. Air mata pada akhirnya lolos juga, mengalir dan membasahi pipi. Shaka kemudian menuliskan sesuatu pada bukunya. "Aku juga bangga sama bunda, bangga terlahir dari seorang wanita sekeren bunda."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Blue Butterflies [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang