07 - Everything I Wanted

2.8K 364 31
                                    

Shaka masuk sekolah hari ini.

Ia tahu tidak akan ada yang berbeda di sekolahnya, bahkan setelah meliburkan diri cukup lama. Teman sekelas masih tetap menghindar darinya, ia tetap sendirian di kelas, dan tidak ada teman mengobrol sepanjang waktu istirahat.

Apa yang Shaka harapkan? Sambutan hangat setelah absen lama karena sakit? Dibanding memikirkan hal itu, seharusnya Shaka bersyukur karena kursinya tidak ditempati orang lain, atau namanya yang dihapus dari daftar siswa. Setidaknya ia masih dianggap ada.

Bel istirahat berbunyi. Seperti biasa, Gavian dan Gibran akan berjalan menghampirinya, menawarkan ajakan untuk mengisi perut di kantin. Seperti biasa pula, Shaka akan menolak. Menggelengkan kepala dua kali dan cukup membuat Gavian tak lagi memaksa.

Ketika sedang dalam keadaan normal saja, Shaka enggan bertemu siapapun. Apalagi dalam keadaan menyedihkan dengan penampilannya saat ini? Tubuh kurusnya masih dibalut jaket tebal sejak awal, pun selang oksigen yang tetap ia gunakan di sekolahㅡatas paksaan dari Jia.

Bahkan Shaka rela datang lebih pagi dari siswa yang lain untuk menghindari tatapan penuh intimidasi atau belas kasihan dari mereka. Ia tidak suka menjadi pusat perhatian, walaupun banyak hal di dalam dirinya yang otomatis menarik tatapan orang lain.

"Gue beliin lo puding stroberi. Ini sehat, gulanya terpisah; nyatu sama vanilla sauce-nya. Kalau gak pake pun tetep enak karena dari buahnya udah manis-asem."

Kepala Shaka mendongak, menatap wajah Gavian yang tampak serius dengan barang bawaannya. Ada beberapa jajanan yang ia simpan di atas meja Shaka, salah satunya puding buah yang ia sebutkan tadi. "Setidaknya isi perut lo, jangan dibiarin kosong banget."

"Gibran mana?"

"Dipanggil kakak kelas ke ruang musik." Gavi menarik sebuah kursi dari meja sebelah yang penghuninya entah kemana, menempatkan diri tepat di samping meja Shaka. "Ini mau gue suapin aja?" Tanyanya, seraya membuka tutup puding buah tersebut.

Shaka kini mengambil alih makanan itu, "Balik ke kursi lo aja sana, gue gak apa-apa. Makasih udah dibeliin puding."

"Gak mau balik ah, nanti pudingnya gak jadi lo makan." Gavi mengubah posisi, bertopang dagu dan menatap lurus kearah Shaka. "Makan, Sha. Serat dari buah-buahan itu bagus lho untuk mempertajam daya ingat dan imun tubuh, cocok buatㅡ"

"Tetep aja imun gue lemah tuh." Shaka menyela.

Gavi terdiam, merapatkan bibir. Ia tersenyum tipis saat Shaka mulai memakan pudingnya, walaupun dengan perlahan, walaupun mengunyah dengan ragu-ragu. Melihat si tetangga itu membuat pikirannya kembali melayang ke obrolan kemarin malam.

Autoimun, musuh yang masih berperang dengan Shaka hingga detik ini. Hal yang seharusnya memberi perlindungan bagi tubuh, justru menjadi boomerang dan beralih fungsi sebagai sesuatu yang jahat. Sialnya lagi, diantara banyaknya tempat untuk autoimun singgahi, organ respirasi Shaka menjadi pilihannya.

Jia juga sempat menjelaskan sedikitㅡselebihnya Gavi mencari tahu sendiri. Katanya, kambuhnya Shaka kemarin membuat elastisitas paru-parunya kembali menurun. Membuat anak itu harus kembali beraktivitas dengan bantuan oksigen tambahan, sebab lemahnya sistem pernapasan membuat Shaka tidak bisa bernapas mandiri dalam jangka waktu yang lama.

Terdengar menyedihkan, pun menyakitkan. Gavi akui Shaka benar-benar hebat, ia bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya. Namun, daripada menaruh rasa prihatin yang justru membuat Shaka tidak nyaman, Gavi berusaha bersikap senormal mungkin.

"Jangan ngeliatin gue kayak gitu, nanti lo suka."

Matanya mengerjap perlahan, Gavi terdiam sejenak sebelum tertawa pelan mendengar kalimat barusan. "Gue cuma lagi mikir, kok bisa ya ada orang yang masih kelihatan ganteng walaupun pake nasal canulla? Kek, gimana mungkin? Lo berguru langsung sama Hazel Grace dari The Fault In Our Stars, kah?"

Blue Butterflies [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang