13 - Peter Pan Was Right

2.8K 324 22
                                    

Gavian belum menyetujui keputusan apapun. Perihal pengobatan lanjutan, terapi, atau segala hal rumit nan menyakitkan yang akan ia jalani kembali nantinya. Namun, tubuhnya mulai menunjukkan gejala yang cepat, membuat Gavi dibuat pesimis karenanya.

Julian masih setia memijat tengkuk kakaknya itu perlahan. Ia ikut meringis kala melihat Gavi kembali mengeluarkan cairan berwarna keruh, apalagi saat keringat dingin mulai bercucuran membasahi kening manusia yang selama ini menjadi partner gelut-nya.

"Masih mual, kak?" Keran air yang ditutup membuat Julian bertanya. Gavi tampak memberi respon dengan anggukan.

Dengan perlahan, Julian membantu kakaknya itu berjalan keluar dari kamar mandi. Cukup sulit memang, karena entah sejak kapan Gavi kehilangan banyak tenaga untuk sekadar berjalan. Keseimbangannya sedikit dipertanyakan, sebab beberapa kali ia hampir terjatuh jika tak bertumpu pada sesuatu.

Tak lama setelah berhasil kembali berbaring dengan nyaman di atas ranjangnya, Maya masuk ke dalam kamar diikuti Radi. Ada raut khawatir di wajah pasangan suami isteri itu dan Gavi merasa sangat bersalahㅡsebab ialah penyebab utamanya.

Ada usapan lembut dan penuh kehati-hatian yang terasa diantara rasa sakit seperti ditusuk jarum di kepalanya, Gavi membuka mata perlahan. Ia sempat memejamkannya, berusaha untuk mengenyahkan sedikit saja sensasi tak nyaman disana.

"Besok kita ke Rumah Sakit, ya? Kita konsultasi perihal pengobatan yang harus kamu jalani." Maya berucap. Ada getaran di dalam suara lembutnya, membuat Radi refleks mengusap punggung sang isteri. Sekalipun momen seperti ini bukan pertama kali terjadi, tapi tidak akan ada yang terbiasa dengan momen menyakitkan seperti ini.

Hati ibu mana yang tidak akan terluka saat menghadapi anak mereka yang dilanda sakit. Dulu, saat Julian terkena DBD saja Maya menangis hampir sepanjang malam. Ikut merasakan sakit saat Julian merengek mengeluhkan gejala-gejalanya.

Apalagi saat ini? Setelah bertahun-tahun lamanya hidup dalam kelegaan sebab telah mengantongi kata sembuh, kini Maya maupun Radi mau tidak mau harus mempersiapkan hati mereka menghadapi takdir kejam yang menimpa Gavi.

"Aku gak mau, Bu, aku gak mau lagi ..." Gavi menggeleng pelan, matanya sudah berkaca-kaca. Walaupun samar, tapi Gavi ingat sesakit apa rasanya saat berbagai macam pengobatan ia jalani dulu. Ia tidak mau mengulang hal yang sama, Gavi sudah muak.

"Sayang, dengar Ibu. Ini demi kebaikan Gavi, nak. Kita gak mau kehilangan kamu." Maya segera menghapus air mata yang jatuh dari sudut mata sulungnya itu. "Kita jalani sekali lagi, ya? Kita jalani sama-sama, Gavi jangan takut. Ayah, Ibu, dan Julian, kita bakal selalu nemenin Gavi berjuang."

"Tapi kalo gagal lagi, gimana? Kalo kali ini aku kalah, gimana? Kalo kali ini pengobatannya gak berhasil, kaloㅡ"

"Bang Gavi!" Teriak si bungsu Julian. Wajahnya terlihat memerah, ia sudah tidak tahan lagi. "Kemana perginya bang Gavi yang selalu semangat?! Bang Gavi yang selalu bikin ketawa Ayah sama Ibu, bang Gavi yang tiap hari ribut sama aku, kemana perginya?!"

Radi hendak meraih tubuh Julian, mencoba mengendalikan emosi anak itu. Namun, Radi kalah cepat, Julian segera berlari keluar dari ruangan tersebut. Tak peduli dengan teriakan Maya yang terus memanggil namanya.

Gavian hanya mampu menahan sesak dalam diri. Mulai sekarang, tatapan Julian padanya mungkin akan berubah. Ia sudah bukan lagi superhero andalan bagi adiknya. Entah akan bagaimana masa depan yang harus Gavi lalui, ia hanya berharap bisa terlelap barang sebentar saja.

Ia masih belum siap menghadapi kenyataan pahit ini.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Blue Butterflies [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang