14 - Every Moment of You (1)

2.2K 240 11
                                    

[ ⚠ ]
Flashback, rape, sexual assault, mental health issue.
Tidak ada adegan 21+ tapi tetap baca dengan bijak.







Tahun 2005

"Belajar yang rajin ya anak-anak Bunda!"

Jia melambaikan tangan pada kedua putera-puterinyaㅡyang kini sudah sepenuhnya masuk ke dalam pekarangan sekolah. Berapa kalipun melihat mereka dalam balutan seragam khas anak-anak sekolah dasar, Jia akan selalu dibuat gemas sendiri. Sadam maupun Siena sudah tumbuh secepat itu.

Mengantarkan kedua anaknya ke sekolah memang sudah menjadi agenda rutin bagi Jia. Sebagai seorang ibu, jelas ia ingin terus memantau aktivitas buah hatinya. Melihat secara langsung bagaimana mereka bertumbuh setiap harinya, Jia tidak mau melawatkan satupun momen.

Kehidupannya seringkali menjadi pembicaraan orang lain sebab terlalu indah. Memiliki suami yang begitu mencintainya, memiliki dua orang anak yang tampan dan cantik, memiliki rumah yang besar dan nyaman, serta seluruh kebahagiaan yang tak hentinya Jia syukuri.

"Saya iri banget sama mbak Jia, hidupnya sempurna banget," ucap salah satu orang tua murid yang baru saja mengantarkan puteranya, sama seperti Jia. Wanita itu hanya tersenyum sebagai balasan, membuat wajah cantiknya terlihat begitu bersinar di bawah cahaya matahari pagi.

"Tidak ada yang sempurna di dunia ini, mbak. Saya dan suami juga masih banyak kurangnya. Tapi, syukurlah kami mau bekerja sama untuk saling menyempurnakan." Jia sedikit menganggukan kepala sebelum pamit untuk pulang. "Terima kasih ya, mbak, saya anggap ucapan itu sebagai doa."

***

"Aku iri pada Sadam dan Siena

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Aku iri pada Sadam dan Siena."

Jia sedikit terperanjat saat sepasang tangan tiba-tiba melingkar dipinggangnya, siapa lagi pelakunya jika bukan Yudha. Rasanya tidak afdol jika Jia dibiarkan tenang melakukan pekerjaannya memasak, pria itu senang sekali membuat fokusnya menjadi terbagi.

"Kenapa iri? Mereka anak-anakmu lho, mas," ucap Jia. Ia terpaksa tetap memasak walaupun pelukan Yudha tak kunjung terlepas.

"Justru itu, aku iri karena mereka terlahir dari wanita cantik sepertimu." Yudha tersenyum kala mencium aroma parfum yang Jia gunakan. "Rasanya seperti mimpi. Bagaimana bisa aku memiliki seorang perempuan yang cantik, pintar memasak, lemah lembut, penyayangㅡ"

"Stop, mas! Nanti kalau mereka dengar gimana?"

Baru saja kalimat itu terucap, tiba-tiba Sadam maupun Siena sudah lebih dulu berjalan mendekat. Keduanya tampak merengut, kesal karena kalah cepat dengan sang Ayah untuk memeluk Jia. "Ayah gantian dong! 'Kan kita mau peluk Bunda juga!" Teriak Siena, si sulung yang diangguki oleh si bungsu, Sadam.

Blue Butterflies [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang