03 - I'm Tired

3.8K 421 50
                                    

Jia tak bisa menyembunyikan kepanikan saat membuka pintu dan melihat putera kesayangannyaㅡShaka dipapah masuk oleh Gavian. Wajah anak itu pucat sekali, tetesan keringat juga masih membasahi keningnya.

"Gavi, terima kasih, ya." Tutur Jia. Wanita itu tersenyum lembut setelah Gavi membantu Shaka berbaring di atas ranjangnya. "Maaf sudah merepotkan, padahal ini hari pertama kamu masuk sekolah." Lanjutnya.

Gavian menggeleng pelan, ia tidak merasa direpotkan. Ya, sedikit sih, itupun saat menaiki motor tadi. Pasalnya tubuh lemas Shaka benar-benar mengkhawatirkan, walaupun masih sanggup memegang erat jaketnya agar tidak terjatuh.

"Is he okay?" Gavi bersuara. Ia sebenarnya penasaran dengan apa yang terjadi pada Shaka, kenapa anak itu masih terlihat kepayahan walaupun sudah beristirahat lama di UKS? Padahal sudah diberikan terapi oksigen tadi, tapi napasnya masih terdengar berantakan.

Wanita dengan penampilan sederhananya itu lantas kembali mengulum senyuman. Setelah memastikan puteranya terlelapㅡselepas diberikan bantuan oksigen tambahan (lagi), Jia kemudian membawa Gavi keluar dari ruangan tersebut.

Segelas teh chamomile tersaji di atas meja makan. Jia tampak memainkan jari-jarinya, menatap gelisah ke sekitar. Gavi jelas saja peka, ia lalu berucap lembut, "Kalau tante belum siap kasih tahu aku perihal kondisi Shaka, gak apa-apa. Aku gak maksa kok."

"Tante cuma bingung gimana jelasinnya sama kamu." Jia membalas tatapan Gavi, "Shaka itu rapuh, tapi di satu sisi dia gak mau dianggap seperti itu. Tante harap kamu bisa ngerti ya, Gavi? Bukan maksud ingin membebani kamu, tapi ..."

"Shaka gak punya teman lain yang bisa tante percaya?" Gavi menyimpulkan asal dan ternyata Jia menyetujui kesimpulan tersebut. Ia bisa berpikir demikian karena melihat bagaimana laki-laki berkulit putih itu menghindar dari orang lain di sekolah.

Dengan penuh rasa percaya diri, Gavi berucap yakin. Satu kalimat keluar dari bibirnya dan berhasil membuat kelegaan dalam hati Jia, sekalipun tidak sepenuhnya. "Tante bisa percaya padaku kok."

***

Sore menjelang malam kondisi Shaka masih belum membaik. Selain keluhan sesak, anak itu juga mengeluhkan pusing. Tubuhnya panas, Jia lagi-lagi meringis pelan saat memberikan kompresan. Rasanya pasti tidak nyaman, disaat ingin istirahat tapi sekujur tubuh sakit semua.

Dirinya masih sibuk mengurus Shaka sembari mengatakan kalimat-kalimat penenang saat pintu kamar terbuka, menampilkan sosok pria bertubuh tinggi dengan air muka yang dingin. Tatapannya datar, berjalan perlahan mendekati isteri dan anak bungsunya.

"Kamu gak masak?" Tanya Yudha to the point.

"Aku udah minta mbok masakin menu makan malam kali ini. Aku gak bisa turun langsung, mas, maaf. Kondisi Shaka belum stabil." Jia menjelaskan. Kepalanya refleks menunduk, ia sendiri tidak paham kenapa selalu merasa takut saat berada di dekat suaminya sendiri.

Yudha memang biasanya tak banyak bicara, tapi beruntung kali ini tak ada komentar mengenai Shaka. Jia bisa sedikit bernapas lega, walaupun tak sampai satu menit setelah ia menghela napas. Yudha kembali berucap, melontarkan satu kalimat bernada datar, namun berhasil membuat hati Jia sakit.

"Jangan ngurusin anak sakit-sakitan itu terus, suami dan anakmu yang lain jadi terlantar."

***

Bekerja di perusahaan milik Ayahnya sendiri ternyata tidak semenyenangkan bayangan Sadam. Laki-laki berusia 23 tahun itu masih harus dihadapkan pada polemik lain. Klien yang banyak mau, karyawan yang bertindak aneh-aneh.

Walaupun merasa lelah, tapi Sadam tetap berusaha memberikan yang terbaik. Mengingat Yudha menaruh kepercayaan sangat tinggi padanya sebagai anak laki-laki pertama di dalam keluarga.

Blue Butterflies [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang