06 - What Was I Made For?

3.2K 370 24
                                    

Tidak banyak yang bisa Shaka lakukan saat tubuhnya memberontak dan berakhir mendekam lagi di Rumah Sakit atau kamarnya sendiri. Tapi, ia juga tidak bisa terus-menerus mengeluh, ini bukan pertama kali baginyaㅡbukankah seharusnya ia sudah terbiasa?

Shaka menggerakkan tubuh ke kiri dan ke kanan, mencoba mencari posisi berbaring paling nyaman disaat semua persendiannya terasa sakit. Bibirnya meringis pelan, namun tak sampai membangunkan Jia yang terlelap di sofa ruangan itu.

Hingga saat ia lelah dengan tubuhnya sendiri, Shaka akhirnya memilih bangkit. Tadinya, ia berniat berdiri dan bersantai di balkon kamarㅡkamar di rumah, sebab ia memaksa ingin dirawat jalan saja, tidak mau opname. Namun, baru beberapa langkah saja Shaka sudah kewalahan.

Jia yang terusik akhirnya bangun. Wanita itu tanpa mengatakan apapun kembali membantu Shakaㅡyang semula berdiri dan bertumpu pada tembok, untuk kembali ke ranjangnya. Shaka menolak berbaring, ia memilih untuk duduk ditepian.

"Kenapa kamu gak bangunin Bunda?" Tanya Jia, suaranya terdengar lembut, namun Shaka yakin ada amarah yang tersirat didalamnya. Ia jadi sedikit menyesal, Jia pasti masih mengantuk dan ingin istirahat, tapi sudah harus terbangun karena dirinya.

"Aku pikir tubuh aku masih kuat dibawa jalan sampe ke balkon. Aku mau refreshing, gak mau ganggu tidurnya Bunda juga." Shaka menjelaskan, suara serak berpadu helaan napas beratnya mendayu di telinga Jia, membuat wanita itu lantas mengulas senyuman.

"Kalau mau turun dari ranjang, ini jangan sampai dilepas," ucap Jia, menuntun jari telunjuknya ke arah nasal canulla yang baru saja ia pasangkan kembali ke hidung puteranya. "Shaka kan masih butuh ini, dokter juga bilang gitu. Kamu gak lupa, kan?"

Shaka menggeleng pelan. "Aku gak mau ketergantungan pake ini, Bun," cicitnya. Suaranya teramat pelan, beruntung jarak antara ia dan Jia tidak begitu jauh. Setidaknya Shaka tidak perlu mengulang ucapannya lagi.

"Ini hanya sementara, sayang. Sampai paru-paru kamu kuat buat bernapas tanpa bantuan," balas Jia, diiringi senyuman lembut yang lagi-lagi membuat Shaka merasa bersalah. Anak itu merasa begitu banyak keluh, disaat milik Jia seharusnya lebih banyak lagi.

***

Mood Gavi malam ini sedikit berbeda dari biasanya, ia sedikit sedih. Hanif, sebagai ketua SMB pun menyadari hal itu. Gavi sudah ditanyai macam-macam, bahkan diminta istirahat oleh anggota band yang lain jika dirasa belum siap untuk tampil. Tapi, pada akhirnya live music mereka tetap terlaksana.

Malam semakin larut, keenam laki-laki yang disatukan dalam rumah sederhana bernama Sunday Morning Boys itu memilih berkumpul terlebih dahuluㅡtidak langsung kembali ke rumah masing-masing. Zidan, sebagai yang tertua disana memesankan banyak menu di cafe tersebut.

Gratis, Zidan mentraktir kelima rekan sejawatnya yang lain. Katanya ini sebagai apresiasi sebab mereka telah berhasil membawakan lagu secara live, pun sebagai obat bagi Gavi yang kelihatannya masih "galau". Bagi seseorang seperti Gavi, perubahan mood sekecil apapun pasti terlihat.

"Udah siap buat cerita, Gav?" Tanya Tara mengawali obrolan dan memecah keheningan yang sempat terjadi. "Kalau lo butuh waktu buat sendiri dulu, bilang aja, Gav. Tapi, gue harap lo bisa segera kasih tahu kita, biar gak ada yang menduga-duga kenapa malam ini lo kelihatan sedih gitu."

Gavi mengangkat pandangan, ia tatap teman-temannya satu persatu. "Sorry, gue udah nyebarin vibes negatif. Gue gak apa-apa kok, gue cuma sedih karena gagal ajak seseorang yang gue janjiin ke kalian kemarin." Gavi akhirnya menjelaskan alasan dibalik raut sedihnya.

"Tetangga baru lo itu? Kenapa dia gak bisa kesini?" Kini giliran Zidan yang bertanya. Jujur, ia juga penasaran seperti apa orang yang dimaksud Gavi, seseorang yang berhasil membuat anak itu begitu excited kemarin dan murung hari ini.

Blue Butterflies [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang