15 - Every Moment of You (2)

1.9K 263 14
                                    

[ ⚠ ]
Flashback.

Bukan perkara mudah bagi Yudha menerima janin dalam kandungan Jia. Bahkan, seandainya bisa, ia ingin melenyapkan anak itu sebelum berhasil lahir ke dunia. Terdengar kejam memang, tapi tolong beritahu Yudha caranya ikhlas menerima anak yang ditubuhnya mengalir darah pria lain.

Yudha sangat mencintai Jia, sungguh. Ia tidak pernah bisa membayangkan bagaimana jadinya jika kehilangan sosok perempuan bak malaikat seperti sang isteri. Tapi, mengapa takdir kejam ini harus terjadi pada keluarganya? Pada keluarga kecil yang susah payah ia bangun agar terus bahagia.

Yudha melupakan fakta bahwa dunia tidak selamanya berjalan semulus itu. Terkadang memang perlu ada kerikil dan lubang yang membuat perjalanan sedikit lebih menantang, tapi Yudha tak pernah membayangkan hal mengerikan ini menjadi ujian bagi keluarganya.

Jia menolak menggugurkan bayi itu. Atas dasar kemanusiaan, Jia justru membuat Sadam dan Siena perlahan menjauh. Yudha juga ingin bersikap seperti itu. Tapi, bagaimana bisa? Cintanya pada Jia membuat Yudha mencoba untuk menerima keputusan tersebut, walaupun di masa depan nanti ia tidak tahu apakah bisa menerima kehadiran anak itu atau tidak.

***

Kandungan Jia sudah memasuki bulan ke tujuh. Fisiknya semakin lemah dari hari ke hari. Dokter pernah mengatakan jika kehamilan Jia kali ini memang cukup beresiko. Kandungannya lemah, tapi tetap saja Jia tidak mau menyerah. Katanya anak itu berhak hidup, walaupun tidak dihadirkan sebagai bentuk implementasi doa dan harapan kedua orang tuanya.

Selama itu pula, Jia menyadari perubahan sikap Sadam dan Siena. Kedua anaknya masih mau menjawab ketika ditanya, masih mau memakan masakannya, masih mau diantarkan ke sekolah, tapi hanya sebatas itu. Kehangatan yang dulu hadir, kini perlahan terkikis.

"Nak, gak apa-apa ya, Bunda kuat kok demi kamu," gumam Jia sembari mengelus perutnya yang semakin besar. Ia membiarkan air mata jatuh membasahi pipinya. Selain faktor hamil, kondisi mentalnya yang belum sepenuhnya stabil membuat wanita itu sangat sensitif. Mudah menangis.

"Aku akan bawa Sadam dan Siena jenguk kakek dan neneknya." Suara Yudha terdengar dari arah pintu, Jia menoleh, menatap sendu pada pakaian suaminya yang sudah rapi. Sebenarnya ini bukan rencana dadakan, mereka memang seharusnya pergi mengunjungi orang tua Yudha setahun sekali.

Tapi, karena kehamilan ini membuatnya lebih mudah terserang lelah, Jia akhirnya tidak diizinkan untuk ikut. Lebih buruk dari itu, Yudha tidak mau keluarganya tahu jika isterinya tengah mengandung anak haram. Tidak menutup kemungkinan ia dituntut untuk menceraikan Jia dan Yudha jelas tidak mau hal itu terjadi.

"Mas, maaf ..."

"Kamu sudah mengatakannya ribuan kali. Sudahlah, tidak ada gunanya." Yudha kemudian mengecup singkat kening Jia. Wanita itu justru menangis, rasanya tidak ada cinta hadir dalam kecupan tersebut. "Ada driver dan mbak yang akan terus memantau kamu. Jaga diri baik-baik ya, sayang."

***

Lima hari berlalu. Tak banyak aktivitas yang bisa Jia lakukan, ia benar-benar kehilangan banyak kekuatan, bahkan untuk sekadar berjalan menuju kamar mandi pun perlu bantuan. Entah karena efek hamil atau karena ia merindukan presensi suami serta anak-anaknya, Jia tak pernah absen menangis setiap malam.

Seperti hari ini, Jia kembali dirundung kegundahan. Perutnya sudah terasa sakit sejak siang, namun ia pikir itu akan mereda dengan sendirinya. Tapi, ternyata tidak, rasa sakit itu semakin bertambah menjelang malam tiba. Kali ini Jia sudah tidak tahan lagi.

Blue Butterflies [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang