18 - It'll Be Okay

3K 342 37
                                    

Kambuhnya Shaka sukses merebut atensi seluruh keluarganya, khususnya Jia. Walaupun sebelumnya Sadam sudah berusaha memberikan pertolongan pertama, tapi ternyata sesaknya kian memburuk. Anak itu terus menangis, jadi wajar saja kondisinya drop, stress yang menjadi pemicu utama.

Rumah Sakit saat malam hari entah kenapa menghantarkan hawa dingin yang berkali-kali lipat, walaupun selama 24 jam pun terasa tak nyaman untuk disinggahi lama-lama. Sayangnya, Jia harus kembali ke tempat ini, kembali menyaksikan buah hatinya berjuang untuk hidup.

"Kalian gak pulang ke rumah?" Tanya Jia pada dua orang yang pertama kali menyambutnya setelah keluar dari ruang rawat Shaka, mereka adalah Sadam dan Siena. Entah atas dasar apa keduanya justru mengikuti Jia sampai kesana, padahal mereka sangat tidak menyukai tempat tersebut.

Tidak ada yang menjawab. Baik Sadam maupun Siena, mereka berdua justru mengalihkan pandangan ke arah lain. Jia lantas tersenyum kecil. Tanpa adanya perlawanan, Jia menarik tangan kedua anaknya itu, hendak membawa mereka ke suatu tempatㅡKantin Rumah Sakit.

Jam masih menunjukkan pukul 10 malam. Seharusnya orang-orang sudah berada di dalam mode istirahat mereka, tapi beberapa masih harus bekerja. Jia sesekali menatap ke arah para tenaga medis yang lalu-lalang, lalu kembali melihat ke arah Sadam dan Siena bergantian. Masih tidak ada yang mau bersuara.

"Bunda tahu kesukaan kalian berdua itu kopi. Tapi, ini sudah malam, gak baik minum kopi jam segini. Jadi diganti susu hangat saja," ucap Jia. Ia sedikit mendorong maju dua gelas yang masih belum tersentuh pemiliknya. "Jangan diem terus gitu dong, Bunda jadi agak ngeri."

"Kalau masih mau terus diem-dieman, Bunda pergi aja deh, kayaknya kalian emang gak mau ngobrol lagi sama Bunda," sambungnya. Jia baru saja bersiap untuk bangkit, namun Sadam bergerak cepat mencegahnya. "Kenapa, Sadam? Sudah mau bicara sama Bunda?" Jia kembali bertanya, lalu kembali duduk.

Ada banyak percabangan di dalam kepala Sadam, salah satu yang paling kuat menekan dirinya untuk tetap stay disana adalah obrolan singkat antara Jia dan dokter tadi, tentang kondisi terkini adiknya. Rasanya masih seperti mimpi, Sadam bahkan hanya mampu menatap Siena, lidahnya tiba-tiba menjadi kelu.

"Bunda, anak ituㅡ"

"Namanya Shaka, Sadam. Adikmu punya nama."

Sadam kembali mengantupkan bibir. Ia merutuki diri sendiri karena tidak membaca situasi terlebih dulu. Jia masih menatapnya dalam-dalam, meminta anak keduanya itu kembali melanjutkan ucapan. Sadam melirik ke arah Siena, perempuan itu tetap setia menundukkan kepala.

"Tentang Shaka ... apa yang dokter bilang tadi benar?"

"Kalau benar, kenapa?" Jia berusaha menjaga tone suaranya. Ia tidak mau terlalu emosional, walaupun sekarang sudah mati-matian menahan semua itu. "Sadam sama Siena denger ya tadi dokter bilang apa? Apa itu juga alasan kalian masih tetap disini?"

Melihat kedua anaknya terdiam, Jia simpulkan itu sebagai jawaban iya. Senyum tipis kembali terbit, walaupun hatinya sudah luar biasa sesak. Jia rasa ini waktu yang tepat untuk mengatakan semuanya, itulah sebabnya ia sekuat tenaga menahan gejolak ingin menangis.

"Shaka baik-baik saja kok, Bundaㅡ"

"Baik-baik saja apanya, Bun?!" Sadam sedikit menggebrak meja, menimbulkan suara cukup kencang karenanya. "Apa yang baik-baik saja dengan paru-paru rusak parah seperti itu?!" Nada suaranya masih terdengar tinggi. Ada getaran didalamnya, Jia paham kalau Sadam juga ingin menangis.

Seperti kata orang-orang, sentuhan seorang ibu itu ajaib. Bisa meredakan tangisan bayi, bisa menghangatkan tubuh yang dingin, bisa menenangkan hati yang gelisah. Hal itu juga berlaku dengan sentuhan tangan Jia pada punggung tangan Sadam.

Blue Butterflies [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang