09 - It Tears Me Apart

2.7K 339 39
                                    

Pukul 10 pagi dan Gavi baru saja membuka matanya. Masih ada denyutan yang tersisa, tapi tidak seburuk semalam. Ah, mengingatnya saja membuat Gavi ngeri sendiri. Ia tidak akan pernah lupa sehebat apa mimisannya kemarin, Gavi bahkan tidak bisa menjaga kesadarannya lagi.

Walaupun dokter mengatakan ini hanya efek kelelahan, Gavi tahu ada alasan lain yang menyebabkan kepalanya begitu sakit. Kenangan masa lalu kembali berputar, tentang seberapa muaknya Gavi sewaktu kecil karena harus bergantung pada obat-obatan.

Gavi hanya takut rasa sakit itu kembali lagi.

"Bang, kata Ibu, gue disuruh nyuapin lo."

Gavi melirik ke asal suara. Julianㅡsang adik yang hanya berbeda 2 tahun darinya itu sudah berdiri di ambang pintu dengan semangkuk bubur di atas nampan. "Beneran lemes banget ya, Bang? Lo gak lumpuh, kan, Bang? Lo nggakㅡ"

"Diem anjir, bacot banget deh." Tukas Gavi. Ia menatap tak suka adiknya yang banyak tanya, apalagi jika menyangkut dengan kesehatannya sekarang. Walaupun tak sepenuhnya salah Julian, sebab anak itu memang pada dasarnya kepoan, tapi tetap saja Gavi merasa sensitif sekali saat ini.

"Lo bolos sekolah dalam rangka apa?" Gavi membuka topik obrolan baru. Kini posisinya sudah duduk bersandar, dengan Julian yang sudah menempatkan diri duduk di tepian ranjang, bersiap membantu menyuapi sang kakak. Tapi, Gavi menolak.

"Ibu mau keluar agak lama, jadi gue disuruh jagain lo. Katanya takut lo mimisan atau pingsan kayak semalem," ucap Julian. Suaranya terdengar santai, seolah apa yang terjadi pada kakaknya itu bukanlah hal langka. Padahal sudah bertahun-tahun lamanya sejak terakhir kali Gavi seperti ini.

Gavi mendecih pelan, "Lebay, gue bisa sendirian kok." Tangannya yang lemas terangkat hendak mendorong tubuh Julian, memberikan tanda bahwa ia ingin sendirian saja. Namun, belum sempat anak SMP itu bangkit, pintu kamar kembali terbuka.

"Shaka?"

***

Gavian tak juga melepas pandangan pada makanan yang dibawa Shaka. Harumnya begitu menggiurkan, membuat nafsu makan anak ituㅡyang sebelumnya sempat hilang saat melihat bubur, kini tiba-tiba meningkat begitu saja.

"Bunda bikinin lo kentang panggang gitu, ada jus alpukat juga." Shaka terlihat sibuk dengan kotak makan di atas pangkuannya. "Lo sanggup makan sendiri atau perlu disuapin? Tapi, kayaknya makan sendiri aja deh ya, soalnyaㅡ"

"Suapin. Gue mau disuapin sama lo."

Di sudut lain ruangan itu, lebih tepatnya di depan meja belajar Gavi, Julian mendecih saat mendengar ucapan kakaknya. Padahal tadi tawaran semacam itu secara gamblang ditolak, tapi Gavi justru mengemis kepada orang lain. Julian sempat memberikan tatapan sinis sebelum ia benar-benar keluar dari sanaㅡbeserta stik PS milik Gavi yang baru saja ia pinjam.

Shaka tak banyak melempar protes. Ia juga pernah menyuapi Jia ketika wanita itu sakit, jadi bukan lagi hal sulit untuk ia melakukannya. Shaka menyuapi dengan penuh kehati-hatian, ketelatenan, dan kesabaran. Gavi terus memperhatikan gerak-geriknya, sesekali tersenyum tanpa sadar.

"Btw, darimana lo tau kalo gue sakit?" Gavi bersuara tepat setelah makanannya berhasil tertelan. Ia melirik dan mendapati Shaka masih diam, sebelum kembali menyodorkan suapan baru. "Ini juga bukan hari libur deh, kok lo gak sekolah, Sha?"

Helaan napas panjang terdengar, Shaka selalu merasa lelah jika dihadapkan dengan banyak pertanyaan. Lucunya, kini ia malah berteman dengan Gavi yang banyak tanya. "Tadi gue ketemu bokap lo. Pas gue tanyain lo, beliau bilang kalo lo sakit. Hari ini juga kebetulan gue emang gak masuk sekolah. Semalem agak demam, Bunda gak kasih izin buat berangkat."

Blue Butterflies [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang