Matanya mengerjap perlahan, mencoba menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk ke retina. Gavian sedikit memincingkan pandangan, mempertajam beberapa sosok yang kini mengitari ranjang pesakitannya. Ternyata ia tidak sendirian, semua personil SMB sudah siap menyambutnya sedari tadi.
"Gav? Ada yang sakit?"
Pertanyaan itu lolos dari bibir Zidan, keempat orang sisanya tampak khawatir dengan kondisi Gavi. Anak itu terlihat lemah sekali, padahal selama ini Gavi dan Gibran adalah dua orang dengan energi yang tak pernah habis. Mereka seolah menemukan sisi lain milik Gaviㅡyang membuat mereka mati-matian bersikap senormal mungkin, menyembunyikan rasa sedih.
Gelengan pelan Gavi berikan sebagai jawaban. Tubuhnya masih sangat lemas, belum lagi pening yang masih bersisa. Sekali lagi Gavi mengucap syukur, setidaknya ia tak perlu terbangun dengan rasa sakit seperti kemarin.
Sebenarnya ia sudah bangun kemarin malam. Ada Radi, Maya, dan Julian yang menjaganya di dalam ruangan. Namun, karena kepalanya masih dirasa berputar, dokter kembali menyuntikkan obat agar anak itu bisa kembali beristirahat.
Ada rasa aneh saat ia bangun dan menemukan rekan-rekan satu band-nya di dalam ruangan tersebut, disaat hati kecil Gavi berharap kehadiran orang lain disana, Shaka. Entah bagaimana kabar anak itu, Gavi harap Shaka dalam kondisi yang baik.
"Gav, bukannya kita udah sering ingetin lo, ya? Kalau ada apa-apa itu bilang, jangan di-bekep sendiri." Kini terdengar suara Hanif, si leader. "Sejak awal SMB terbentuk, gue gak mau kita cuma sebatas temen main band, gue maunya kita beneran kayak satu keluarga. Gak peduli mau suku, marga, atau anak siapa. Di mata gue kalian semua sama, yaitu keluarga gue."
Perasaan bersalah muncul dalam diri Gavi, ia bahkan tak berani menatap rekannya satu persatu. Inilah yang selalu menjadi ketakutannya selama ini, Gavi takut kehilangan keluarga kedua ini, dimana ia benar-benar dimanusiakan didalamnya.
"Bang, biarin Gavi istirahat dulu yang banyak. Jangan dulu ditanyain ini itu, takut malah bikin kepalanya sakit lagi," ucap Gibran. Mencoba memahami maksud dari tatapan Gavi yang mengarah padanya, seolah sedang meminta bantuan.
"Sorry ..." Cicit Gavian.
"It's okay, Gav, take your time. Cepet sembuh, oke? SMB gak bakal bisa jalan kalau gitarisnya hilang satu," ujar Martin, sesama gitaris yang jarang sekali bicara, namun seringkali menjadi guru sekaligus tutor untuk Gavi. Karena pengalaman Martin di dunia musik jauh lebih lama.
Gavian tak menjawab dengan suara, ia menjawab dengan anggukan. Untuk beberapa jam ke depan, ruangan itu cukup ramai terasa. Gavi tidak mengeluarkan banyak kata, tapi keramaian karena kehadiran rekan-rekannya membuat ia tersenyum. Mereka seolah paham bahwa Gavi tidak pernah suka yang namanya kesepian.
***
Shaka memandang jenuh keadaan di luar jendela ruang rawatnya. Tidak ada siapapun disana selain dirinya sendiri, Jia sedang bertemu dokter saat ini, membicarakan perkembangan kesehatannya yang kemungkinan mengalami penurunan.
Bertahun-tahun menyandang gelar sebagai pejuang lupus, Shaka masih belum benar-benar menerima kondisinya sendiri. Ia masih sering mengeluh, menyalahkan takdir, bahkan sampai menghukum diri sendiri karena sudah terlalu lemah. Padahal, siapa juga yang mau terlahir seperti ini?
Suara napasnya terdengar diantara keheningan yang membelenggunya, berantakan dan mengerikan. Tak jarang Shaka membayangkan dirinya berlari seperti anak-anak di luar sana, bermain bola dengan riang dan melakukan apapun sesuka hati.
Tapi, bukankah ia pernah mengatakan? Jangankan untuk bermain, setiap hari bagi Shaka bagai episode lanjutan dari perjuangan hidup yang tak kunjung usai, dimana ia harus terus berjuang lebih keras untuk tetap bernapas. Disaat orang lain di luar sana bisa melakukannya dengan begitu mudah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Butterflies [END]
Fanfiction[ Sicklit, Angst ] Gavian menikmati hidupnya yang ramai, sedangkan Shaka terbuai dalam keheningan yang tak berujung. Gavian hobi menukarkan waktu dengan kesenangan sesaat, sedangkan Shaka rela membeli waktu demi kebahagiaan yang utuh. Gavian hanya i...