08 - Till Death Frees Me

3.3K 370 38
                                    

Batuknya tak kunjung berhenti. Shaka kecil tanpa sadar menangis karena dadanya kian terasa sesak. Ia tak mengerti, Jia pun sama. Mengapa rintik hujan yang bahkan tak sampai membuat bajunya basah kuyup, tetapi cukup membuat pernapasannya mengalami masalah.

Cuaca dingin memang sudah dan akan selalu jadi musuh bagi anak yang baru menginjak usia 7 tahun itu. Paru-parunya yang lemah, menjadi lebih merepotkan saat peradangan dan penyempitan terjadi akibat dingin yang membelenggu tubuhnya.

Itulah mengapa Jia selalu melarang keras Shaka keluar rumah saat musim penghujan, memakai baju hangat berlapis-lapis, dan harus rutin meminum vitamin. Jia tahu, kondisi kesehatan bungsunya itu jauh berbeda dibanding Sadam atau Siena. Shaka terlalu rapuh.

"Nanti kalau kak Sadam atau siapapun ajak adek keluar pas lagi hujan, jangan mau! Adek kan gak kuat dingin," ucap Jia. Tangannya bergerak untuk membenahi selimut yang membungkus tubuh kurus Shaka. Mata anak itu tetap terbuka, embun di dalam masker oksigen yang dikenakannya masih hilang-timbul dengan cepatㅡmenandakan napasnya masih terasa sesak.

"Ta-pi kak Sa-dam ajak adek ma-in ..."

Jia kembali mengusap rambut Shaka yang sudah lepek karena keringat. Hatinya mendadak sakit. Ia tidak mau menyalahkan siapapun saat ini, tapi semua orang pasti tahu siapa dalang dibalik kambuhnya anak itu. Sebab Sadam tidak mungkin berubah begitu cepat dan mengajak adiknya bermain.

Ia tidak tahu alasan mengapa Sadam melakukannya. Selama ini, anak itu tidak pernah menunjukkan keramahannya pada Shaka. Itulah mengapa bermain bersama bagi mereka adalah agenda yang tidak mungkin terjadi begitu saja tanpa suatu alasan.

Suara batuk Shaka kembali terdengar, menyadarkan Jia dari lamunan yang sempat hinggap. Usapan lembut kembali ia berikan, walaupun rasanya tak banyak membantu. Tarikan napas puteranya masih terdengar cepat dan tak beraturan, padahal semua prosedur pertolongan pertama yang dokter ajarkan sudah ia lakukan.

"Bun-da ..."

"Tenang ya, sayang, ayo ikutin cara napasnya Bunda. Gapapa, adek gapapa kok. Ada Bunda disini, jangan takut."

***

"Anak itu kenapa lagi?"

Jia menghentikan aktivitasnya memotong sayuran saat suara Yudha terdengar. Ia menoleh, mendapati sang suami sudah berdiri di dekat meja makan. "Tadi Shaka sesak lagi karena kehujanan, aku lagi buatin dia sup sayur biar badannya anget."

"Hanya dia? Kamu gak tahu kalau Sadam juga kena flu?"

"Aku udah periksa Sadam, flu-nya masih tergolong ringan, mas. Aku udah kasih Sadam obat juga." Jia terdiam sejenak, ia pandangi wajah Yudha yang masih menatapnya dingin. "Kamu tahu kondisi Shaka kayak gimana, mas. Kena hujan dikit bisa buat paru-nya radang. Imun Shaka gak sekuat Sadam."

"Apa itu bisa dijadikan alasan supaya perhatian kamu lebih banyak ke anak haram itu? Sadam anak kandung kita, Jia!" Sentak Yudha. Tubuh Jia menegang seketika, ia mulai ketakutan. Suaminya memang keras, namun jarang sekali membentak seperti ini.

"Shaka juga anak kandungku, mas," cicit Jia.

Tepat setelah Jia menyelesaikan kalimatnya, Yudha mendorong tubuhnya hingga terkantuk pada tepian kabinet bawah. Cukup kencang sampai ringisan kecil lolos dari bibir wanita itu. Yudha memegang kedua pundaknya, membuat Jia total tak bisa bergerak dengan bebas.

"Aku tidak menceraikanmu karena Sadam dan Siena, bahkan aku mengijinkan anak itu tinggal disini walaupun dia bukan darah dagingku, dan kamu masih ngelunjak, Jia?!" Yudha semakin kencang mencengkram pundak isterinya, "Aku memberimu kesempatan setelah kamu berselingkuh, tapi kamu menelantarkan anak-anakku demi anak haram itu?!"

Blue Butterflies [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang