25 - Goodbye [END]

4.1K 353 76
                                    

Rekomendasi Lagu
Perayaan Mati Rasa

ㅡ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Gav, kita tunggu di mobil, ya."

Gavi tersenyum dan mengangguk kecil. Ia melihat punggung Gibran yang mulai berjalan menjauh dan menghilang di balik pintu, meninggalkan ia sendirian di dalam kamar yang sudah hampir satu bulan ini mengurungnya bersama rasa sakit.

Izin dari dokter sudah dikantongi, Gavi akhirnya bisa keluar dari ruangan tersebutㅡyang sempat menjadi saksi tumpahnya air mata Maya, sang Ibu, atas naik turun kondisinya. Gavi bahkan bisa melihat adiknya menangis kencang, untuk pertama kalinya.

Kala maniknya berpendar menyisir sekitar, Gavi sesekali membalas sapaan dari para perawat yang mengenalinya. Hatinya terasa hangat, walaupun saat ia melihat bagaimana Taman Rumah Sakit mulai ditumbuhi banyak tanaman baru, Gavi jadi sedih.

"Arsha."

Sosok yang namanya baru saja disebut Gavi itu lantas menoleh, ia tersenyum lebar kemudian melambaikan tangan, meminta Gavi untuk mendekat dan duduk di sampingnya. Sama-sama menikmati angin sore ini. "Iyan, kepalanya masih sakit? Atau sudah membaik?"

Gavi tak lantas menjawab. Laki-laki itu memilih untuk menatap ke depan, melihat bagaimana anak-anak kecil itu tengah bermain dan tertawa bersama. Masih ada piyama Rumah Sakit dan gelang penanda yang mereka kenakan, tapi mereka tampak bahagia sekali.

Mendadak Gavi jadi teringat memori lamaㅡyang entah bagaimana caranya kembali hadir di dalam kepala. Gavi ingat, tentang kaktus mini yang ia beli sebagai hadiah, juga tentang Arsha serta hari-hari yang mereka jalani disana dan perjuangan untuk sembuh.

Bahkan hari dimana Gavi mengatakan bahwa ia membenci Shaka atas takdir yang bahkan di luar kuasanya, Gavi ingat itu. Seolah menjadi memori paling menyakitkan yang akan terus berada disana, sekuat apapun ia berusaha untuk melupakan.

Matanya memanas, Gavi seolah lupa bagaimana cara mengendalikan emosinya saat ini. Sebab sebanyak apapun ia mencoba untuk menerima, kenyataan bahwa ia terlambat akan selalu terngiang sepanjang hidup, dan segala bentuk penyesalannya kini hanya sia-sia.

"Arsha ..."

Si pemilik nama kembali menoleh, lalu tersenyum. Tatapan mereka bertemu, walaupun apa yang Gavi lihat sekarang adalah bentuk dari kerinduannya yang begitu besar, sehingga otak dan mata bekerja sama menciptakan sebuah ilusi yang terasa begitu nyata.

"Arsha, kenapa lo pergi secepat ini?"

***

Rumah itu memang belum satu tahun ia tempati, tapi rasanya sudah ada begitu banyak kenangan tercipta disana. Dengan bantuan Radi yang memapahnya berjalan, kini Gavi bisa masuk ke dalam rumah dan melihat beberapa orang sudah berkumpul di ruang tamu.

Blue Butterflies [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang