01| Sekat

1K 45 6
                                        

MATAHARI PAGI di kota Bangkok sudah terasa sangat menyengat kulit hingga peluh menganak sungai di wajah seorang pria dengan tubuh minimalis yang tengah membawa sekantung plastik besar berisi bahan makanan. Ia berkali-kali menyeka keringatnya dan mulutnya tak berhenti memaki semua hal yang membuatnya kesal.

"Aish! Siapa sih yang parkir motor sembarangan begini?! Aku patahkan spion ini baru tau rasa!" Ia menendang pelan roda belakang motor itu untuk melampiaskan rasa kesalnya. "Dan kenapa tidak ada tuk-tuk di sekitar sini? Mereka semua malas kerja, ya?!"

Gun terus mengumpat, bahkan sampai ketika ia berhasil menaiki tuk-tuk untuk pulang ke rumahnya. Matahari yang menyengat kulit, tuk-tuk yang berjalan ugal-ugalan, daun bawang yang menggelitik wajahnya, hingga suara klakson jalanan pun mampu memantik emosi lelaki mungil itu.

"Kita sudah sampai." Suara pengemudi tuk-tuk mengembalikan kesadaran Gun yang pikirannya melayang membayangkan segelas air kelapa manis yang ditambahkan es batu. Ah, pasti rasanya menyegarkan.

"Berapa?"

"75 baht."

Gun melotot mendengar harga yang harus ia bayar. Kenaikan harga atas barang dan jasa—sekecil apapun—terdengar sangat sensitif di telinganya. "Kau penipu?!"

Supir tuk-tuk terlihat sedikit kesal dengan respon Gun. "Anak kecil sepertimu pasti tidak tahu dengan yang namanya inflasi!" celanya.

"Kau pikir aku bodoh?!" sentak Gun. Ia turun dari tuk-tuk lalu berkacak pinggang seolah menantang sang supir. "Lagi pula aku bukan anak kecil! Sembarangan saja kalau bicara!"

"Salah siapa badanmu kecil begitu?! Sudah, cepat bayar! Lain kali kalau tidak ada uang, jalan kaki saja sana!"

Gun menggeram. Ia menjumput sejumlah uang yang sudah lusuh dari saku celananya lalu menyerahkannya dengan kasar pada supir tuk-tuk. "Lain kali bawa tuk-tuk itu yang benar! Aku hampir saja mati terbawa angin karenamu, sialan!"

Gun segera membalikkan tubuhnya dan dengan cepat berjalan berlawanan arah dengan supir tuk-tuk yang berteriak tidak terima dengan umpatan Gun, namun ia tidak peduli. Hari ini adalah hari sial, dan siapapun yang membuatnya kesal adalah orang-orang sialan. Terlebih lagi inflasi brengsek yang terus menanjak, Gun ingin berteriak di depan istana kerajaan saja rasanya. Untuk pedagang makanan sepertinya, tentu saja inflasi menjadi suatu dilema. Harga bahan baku naik, mau tidak mau harga produk yang ia jual juga harus naik dan pada akhirnya ia akan mendapat komplain dari pelanggan.

"Ah, supir tuk-tuk benar. Aku memang bodoh," ucapnya ketika menyadari bahwa supir tuk-tuk juga pasti dilema menaikkan harga jasanya, dan Gun sama saja seperti pelanggannya yang komplain dengan kenaikan harga barang tanpa mencoba untuk mengerti.

Gun mempercepat langkahnya untuk masuk ke rumah minimalis bercat putih milik kakak sepupunya. Ia dan adiknya ditampung oleh Kwang—kakak sepupunya—setelah orang tua nya bercerai. Kwang punya latar belakang yang tak jauh berbeda darinya. Ia juga sebatang kara dan tidak memiliki apapun atau siapapun. Satu-satunya harta yang ia punya adalah rumah kecil peninggalan ibunya. Oleh karena itu, ketika mendengar kabar malang yang menimpa Gun dan Pim, Kwang meminta dua kakak beradik itu untuk tinggal bersamanya. Gun sangat berterima kasih untuk itu.

"Phi~" panggil Gun ketika baru memasuki rumah. Ia menghela nafas lega karena akhirnya sinar matahari tidak lagi mampu menyakiti kulitnya.

"Oh, sudah pulang?" Kwang keluar dari dapur. Ia masih memakai celemek dan memegang spatula di tangan kanannya.

Gun mengangguk. Ia mendekati Kwang lalu meletakkan barang belanjaan di atas meja. Tangannya dengan cepat meraih gelas dan mengisinya dengan air. Kwang meringis melihat betapa rakusnya Gun minum.

Harap Tak BersisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang