06| Amsterdam & Janji yang Tertinggal

310 44 3
                                    

MUNGKIN tak hanya perpisahan mereka yang meninggalkan bayang-bayang buram, tetapi segala yang telah terjadi di antara mereka dan juga riwayat perasaan yang tak pernah memiliki kesempatan untuk disuarakan dengan penuh kejujuran menjadi gumpalan kebingungan yang selalu mengikuti Gun. Bahkan di sela-sela pondasi kebohongan tempat Gun berlari dan bersembunyi, riwayat membingungkan tentang dirinya dan Off tetap mendapat celah untuk bergentayangan.

Tangan Gun turun dengan perlahan dari sisi wajah Off yang terasa sedikit hangat malam ini. Ia melepas ciumannya setelah beberapa saat bermain di atas bibir yang dulu selalu berkata kasar padanya. Ia sudah paham. Paham perihal emosi yang sudah tidak terkoneksi pada Off. Tidak ada debar seperti saat-saat ia melihat suaminya ketika masih mengenakan kacamata setiap hari. Pun debar yang membuat darahnya memanas sudah tidak ia rasakan. Rasanya hambar.

"What was that for, Atthaphan?"

Gun mengangkat bahunya acuh. "Kau marah aku cium?"

"Aku tidak bilang begitu." Off mengambil botol bir dari tangan kanan Gun agar pria itu berhenti minum. "Tetapi untuk mencium seseorang kau pasti punya alasan."

"Tidak perlu alasan untuk mencium seseorang."

"Kau bisa mencium orang asing di tepi jalan secara tiba-tiba?" Off bertanya dengan sinis. "Kau bisa dianggap orang gila yang cabul," sambungnya.

Gun berdecak mendengar kalimat-kalimat sinis dari pria di sebelahnya. Mau berdebat juga percuma, lagian Gun sedang tidak bisa memikirkan alasan yang masuk akal mengapa ia mencium Off, yang ada di pikirannya hanyalah ia harus memutus rantai kebingungan yang membelenggu hatinya. Walaupun belenggu kebingungan sudah melonggar saat ia mencium Off, nyatanya tidak semua kebingungan berhasil ia pahami. Masih ada kepingan-kepingan yang meninggalkan jejak ketidaktahuan yang tidak bisa Gun jelaskan.

"Tapi kau bukan orang asing. Kau 'kan suamiku, memangnya perlu alasan mencium pasangan sendiri?" Gun bertanya dengan kerlingan jahil di matanya yang menggelitik pandangan Off.

"Kau benar-benar mabuk sepertinya."

"Tidak, tuh. Bir tidak akan membuatku mabuk."

Off mengangkat sebelah alisnya. "Benarkah? Kalau begitu haruskah kita melakukan ritual malam pertama yang tertunda?" tanya Off dengan senyum menantang.

"Hah? Kenapa tiba-tiba bicara ke arah sana?" Gun mendesis kesal. "Sepertinya kau yang mabuk."

"Kau yang tadi dengan percaya diri mengatakan tidak ada alasan untuk menciumku karena aku suamimu, maka seharusnya kau tidak perlu kesal begitu ketika aku menyinggung soal malam pertama. Memangnya antar pasangan tabu ya membicarakan itu?"

"Diamlah. Jangan sampai botol bir yang ada di tanganmu itu berpindah ke kepalamu," jawab Gun.

Selanjutnya mereka berdua hanyut dalam keterdiaman yang menenangkan. Pandangan Gun tidak beralih dari kanal yang menyilaukan dengan refleksi lampu-lampu berwarna keemasan. Ada sedikit perasaan khawatir di antara bingung yang bercokol di hatinya. Kekhawatiran tentang bagaimana masa depan akan meletakkan hatinya. Seperti yang sudah dikatakan, Gun pernah begitu mencintai sekaligus membenci Off. Namun, kini dua dari emosi itu sudah tidak bersarang di hatinya. Berbahaya, karena jika ia terbuai dengan kebaikan Off, ia bisa sekali lagi jatuh cinta dan jika Off kembali menyakitinya, mungkin Gun tidak akan bisa membendung gelombang benci yang muncul. Gun tidak menginginkan keduanya. Dia tidak ingin jatuh cinta lagi, pun membenci pria yang kini menjadi pasangannya. Kehampaan perasaan ini membuatnya khawatir.

"Off," panggil Gun selirih angin.

"Hm?" Off menoleh dengan sebelah alis terangkat, menunggu Gun melanjutkan kalimatnya.

Harap Tak BersisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang