14| Luruh Dalam Riuh

309 44 12
                                    

GUN BERDIRI di ambang pintu dengan perasaan yang gamang. Keraguan membelenggu kakinya untuk melangkah masuk ke kamar yang sudah cukup lama ia tinggalkan, bersamaan dengan harapan yang ia biarkan membeku di dalam sana. Ia sudah berusaha sejauh ini membangun tembok yang tinggi untuk membatasi dirinya dan Off, ia takut jika kepedulian kecilnya ini akan menjadi bom yang meruntuhkan benteng yang susah payah ia bangun.

Tapi, membatasi diri bukan berarti harus membunuh rasa kemanusiaan, 'kan?

Bagaimanapun, Off masih pasangannya. Meskipun pernikahan yang mereka jalankan berawal dari keterpaksaan, tapi sejak awal Gun tidak pernah ingin mengingkari sumpah pernikahan. Sampai waktu yang telah ditentukan ia akan memegang sumpahnya untuk setia dan membersamai Off di saat kaya ataupun miskin, di saat sehat ataupun sakit. Terlebih, pria itu juga pernah menolongnya di saat trauma masa lalu muncul ke permukaan untuk mencekiknya.

Gun mengetuk pintu dengan pelan dan ia bisa mendengar sahutan Off dari dalam yang mempersilahkannya masuk. Jantungnya terasa bertabuh dengan kencang begitu melangkah ke dalam kamar yang dulu menjadi akhir peristirahatan. Tapi begitu masuk ke dalam sana, untuk beberapa saat Gun dibuat termenung. Ada banyak jas dan kemeja Off yang berserakan di mana-mana, berbotol-botol sampah kopi instan dalam kemasan berjejer di meja kerja, dan lembaran berkas bertumpuk di bawah kaki ranjang.

Gun meringis. Selama ia hidup bersama dengan Off, ia menyadari bahwa pria itu adalah sosok yang sangat rapi dan terstruktur. Hidupnya sangat terorganisir bahkan ia nyaris tak pernah melewatkan jam makan dan begadang untuk hal-hal yang sekiranya tidak perlu. Gun jadi bertanya-tanya alasan di balik kerja keras Off selama ini sebab pria itu seolah-olah sedang menanggung beban hutang negara di pundaknya.

Matanya melirik ke arah ranjang yang dulu ia tempati. Di sana ada Off yang tengah bergelung dalam selimut hingga menutupi kepalanya. Gun mendesah dalam hati lalu meletakkan nampan berisi makanan, obat dan air minum di atas nakas. Ia mendekat ke arah ranjang dan berusaha menarik selimut Off.

"Jangan bergelung seperti itu. Nanti kau susah bernapas dengan benar."

Off sontak menurunkan selimutnya begitu mendengar alunan suara yang akhir-akhir ini jarang sekali menyapa gendang telinganya. Mata sipitnya yang sedikit memerah dan berair sontak membola begitu melihat sosok Gun benar-benar berdiri di samping ranjang.

"Atthaphan?" suara seraknya keluar dengan nada sendu. Sedetik kemudian kepalanya melongok ke arah pintu dengan dahi yang berkerut. "Di mana Tay?" tanyanya kemudian, sebab awalnya ia mengira yang masuk ke kamarnya adalah sahabatnya itu.

"Sudah pulang," jawab Gun singkat. Tangannya terulur untuk menyibak rambut Off yang jatuh pada dahi pria itu dan memeriksa suhu tubuhnya. Hangat, tapi tidak terlalu mengkhawatirkan. "Sejak kapan kau sakit?"

"Tadi malam. Setelah kita pulang dari acara itu."

Gun menghela napasnya lalu menatap Off yang sedari tadi tak berkedip memandanginya. "Kenapa tidak memberitahuku?"

Off menipiskan bibir, ragu untuk menjawab. "Aku takut akan merepotkan. Lagi pula sakitku tidak parah, hanya flu biasa."

Decakan lidah terdengar nyaring dari mulut Gun. Ia memilih untuk duduk di sisi ranjang dan menatap Off dengan tatapan tajam. "Tidak parah apanya? Suaramu serak seolah pita suaramu telah memutuskan untuk pindah dari kerongkongan dan hidungmu juga memerah karena tersumbat."

Off tahu Gun sedang memarahinya saat ini dan pria kecil itu serius dengan ucapannya. Tapi bolehkah Off merasa senang atas hal itu? Hatinya menghangat seolah gunung-gunung es yang menancap di antara mereka perlahan mencair oleh kepedulian Gun yang tidak terasa seperti pura-pura. Suami kecilnya yang murni itu benar-benar peduli padanya.

Harap Tak BersisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang