30| Dalam Kuasa Waktu (END)

306 26 12
                                    

 The Epilogue

WAKTU adalah anugerah untuk semesta yang sudah berubah menjadi misteri. Satu jam bisa terasa seperti satu tahun ketika dihabiskan dengan sesuatu atau seseorang yang tak disuka. Sebaliknya, satu tahun bisa terasa seperti satu detik kedipan mata ketika manusia begitu menikmatinya dan bagi Gun tiga tahun terasa begitu cepat berlalu sejak Off mengambil keputusan besar untuk mundur dari perusahaan.

Banyak hal yang terjadi selama tiga tahun belakangan. Off dan Gun memutuskan untuk pindah dari ibu kota; menepi ke sudut-sudut negara tempat sederetan desa yang bisa menjadi tujuan pelarian mereka dari kejaran dunia. Cookie Rookie—toko kue Gun—yang sebenarnya masih seumur jagung kini sudah beralih kepemilikan pada Pim, sedang Gun memutuskan untuk membanting stir mencoba hal baru bersama suaminya.

Awal kepindahan mereka ke Rayong, Off dan Gun tidak melakukan apa-apa selain mendekorasi rumah kecil mereka yang terletak di pesisir pantai. Hari demi hari mereka lewati dengan berlusin-lusin percakapan yang tak memiliki pangkal dan ujung; terus mengalir seperti arus yang membuat mereka hanyut dan lupa bahwa ada banyak hal di depan mereka yang tak lagi sama. Keputusan-keputusan pelik, kebiasaan-kebiasaan yang terasa kaku, rutinitas yang asing, semuanya ternyata tak membuat mereka ketakutan karena tahu bahwa kapanpun kaki mereka kehilangan arah menapak, akan ada sepasang tangan lain yang menyangga agar tak kembali tercampak.

Gun mengubah posisinya menjadi menyamping; menghadap wajah Off yang masih terlelap dalam buaian mimpi. Napasnya begitu teratur, lelapnya tak terusik siraman cahaya matahari yang menyelinap dari daun jendela yang dibiarkan terbuka. Jika saja hari ini adalah salah satu dari sekian hari-hari tenang mereka seperti biasanya, pasti Gun akan membiarkan Off tertidur lebih lama. Tapi sayangnya, mereka punya agenda yang harus dilakukan.

Bibir Gun melata di sepanjang garis rahang Off yang kian tajam, memberikan kecupan-kecupan ringan dengan bunyi decap yang nyaring. Namun, Off tetap bergeming.

"Aku mencintaimu," bisik Gun tepat di daun telinga Off.

Kalimat Gun seolah memiliki nilai magis sebab Off seketika tersenyum dengan mata yang masih terpejam. "Aku juga mencintaimu," balasnya dengan suara berat.

Napas Gun sempat terhenyak saat tangan Off bergerak vertikal di sepanjang punggungnya yang tersembunyi dalam selimut. Gun kemudian meringis; merasa gerah dengan remah-remah gairah yang tertinggal di dinding kamar. Ranjang mereka masih sangat berantakan, kulit keduanya terasa sangat hangat, dadanya seperti tersengat ketika teringat sepanjang malam dua tubuh saling mendekap erat.

"Bangun. Hari ini kita punya banyak hal untuk dilakukan," tutur Gun untuk mengelak dari memori nakal yang bermain liar dalam kepalanya.

"Hmmh." Off mendusalkan wajahnya di dada telanjang Gun. "Aku tidak mau pergi saja rasanya. Aku mau kita naik perahu seperti kemarin."

Gun mengusap rambut Off yang dibiarkan memanjang di sekitaran lehernya; seolah menjadi simbol kebebasan pria itu setelah bertahun terjebak dalam aturan yang mencekik leher. "Kita sudah ada janji, lho. Ayah bahkan sudah bilang akan menyiapkan makan malam, aku juga sudah bilang kita akan mengunjungi Pim di toko kue."

Akhirnya Off mengangkat wajahnya yang masih terlihat kacau—meski tak mengurangi sedikitpun kadar ketampanannya di mata Gun. Pria itu menangkup wajah Gun dan menghujaninya dengan kecupan yang menjalar ke seluruh tempat dengan titik pemberhentian di atas bibir Gun yang bahkan tanpa polesan apapun masih tetap semerah delima.

"Baiklah, aku akan mandi dan bersiap lebih dulu. Aku tidak mau Tay menendang pantatku begitu kita tiba di Bangkok."

Tawa Gun menyebar ke seluruh kamar. Ia bisa membayangkan wajah panik bercampur kesal milik Tay Tawan ketika mereka terlambat dari waktu yang sudah dijanjikan dan untuk beberapa alasan Gun juga bisa membayangkan raut tegang New yang sudah ia hapal di luar kepala.

Harap Tak BersisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang