07| Obat Sebuah Luka

320 44 9
                                    

PERIHAL kepulangan biasanya akan selalu erat berkaitan dengan riang yang berselingkar dengan rindu. Rindu memang menyapu hatinya, tetapi perihal riang... entahlah. Gun merasa ada kepingan yang tertinggal di Amsterdam, dan kepingan yang tak terangkul itu menciptakan awan kegelisahan yang menari di atas kepala. Mungkin saja ia telah mengimani perkataan suaminya, bahwa perihal janji adalah pertukaran jiwa untuk sebuah tunai. Janji yang ia buat tidak seringan balon, tetapi seperti gunung yang ditancapkan pada bumi. Begitu berat, karena ia berjanji pada Tuhannya. Tak seperti Off, Gun tak pernah memandang remeh sebuah sumpah pernikahan.

Thailand masih sama panasnya seperti yang terakhir kali Gun ingat, yang berbeda hanyalah tidak akan ada lagi perebutan tempat duduk di depan kipas angin usang bersama Pim karena ia telah resmi menjadi penghuni di salah satu unit perumahan mewah bersama Off. Rumah itu luas dan megah dengan segala fasilitas canggih, namun entah kenapa bagi Gun seberapapun kemewahan yang diberikan oleh Off tidak akan pernah bisa membeli kehangatan. Pria itu sepertinya tidak akan pernah mampu untuk hal itu.

Hari ini sama seperti kemarin. Gun bangun dari tidur dengan disambut oleh kesunyian. Pria yang menjadi suaminya sudah pergi ke kantor di pagi buta, saat matahari bahkan masih berselimut awan sisa semalam. Di rumah mewah itu segalanya sudah dipersiapkan oleh seorang asisten rumah tangga yang dibayar harian oleh Off. Tidak ada yang bisa ia kerjakan. Rumah sudah bersih, makanan sudah tersaji, pakaian telah dicuci. Gun juga tidak punya pekerjaan, tidak kuliah. Ia seperti salah satu perabotan koleksi Off, tidak ada bedanya.

"Aku ingin ke rumahku," ucap Gun langsung ketika Off mengangkat telfonnya, setelah sebelumnya lima kali tidak terjawab.

"Kau sudah di rumahmu."

"Tidak, rumahku adalah tempat di mana keluargaku berada."

Helaan napas terdengar dari seberang telefon. "Baiklah, aku akan mengirim supir. Tunggu di rumah."

"Tidak perlu," tolak Gun cepat. Tangannya sibuk memasukkan beberapa kantung plastik berukuran besar ke dalam bagasi mobil. "Aku akan menyetir sendiri. Aku pinjam mobilmu."

"Aku tidak mengizinkanmu!"

Tangan Gun berhenti di udara. Dengan perlahan ia menurunkan kantung plastik terakhir ke lantai garasi. "Baiklah, aku tidak akan menyentuh mobilmu. Aku akan naik bis kalau begitu."

Off yang sedang dibuat pusing oleh laporan sabotase produksi perusahaan kini dibuat semakin pening dengan tingkah Gun yang sedari kepulangan dari Amsterdam selalu muram dan sensitif. "Aku bukannya tidak mengizinkanmu menyentuh barang-barangku, apapun yang kupunya juga milikmu." Off berkata sehalus dan selambat mungkin agar tidak terdengar meledak walaupun suasana hatinya juga sedang tidak baik. "Aku hanya tidak mau kau menyetir sendiri, berbahaya. Jangan membantah dan tunggu saja supir yang aku kirimkan."

Off mematikan sambungan telefon. Jika mereka berdebat sekali lagi mungkin ia tidak akan bisa mengontrol emosi dan berakhir dengan sangat buruk. Sementara Gun hanya bisa menatap sambungan telefon yang terputus dengan ekspresi kesal. Namun, ia tidak membantah ucapan Off. Pria mungil itu tetap menunggu di rumah hingga supir yang dikirim Off menjemputnya datang untuk mengantarnya ke rumah Kwang. Rumah sederhana yang bisa memberinya kebahagiaan, sesuatu yang tidak bisa dibeli oleh Off.

"Oh, lihat siapa yang datang!" Kwang berseru senang dengan kerlingan menggoda di kedua matanya.

"Apa-apaan tatapanmu itu, Phi? Cepat bantu aku membawa barang-barang ini!" Gun mendengus. Napasnya sedikit tersengal membawa berkantung-kantung plastik berisi bahan makanan dan berbagai jenis minuman beralkohol.

"Aduh, pengantin baru kok marah-marah, sih?" Kwang masih konsisten menggoda adik sepupunya yang paling manis itu, namun tangannya juga ikut bekerja membantu Gun membawa semua barang yang pria itu bawa.

Harap Tak BersisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang