21| Menjejak Ruang Lampau (2)

237 42 22
                                    

SEPASANG netra Gun yang sesak akan binar kebingungan melirik pada seonggok kain berwarna secerah langit yang kini sudah tak ubahnya seperti kain pel. Kain itu terlonggok begitu saja di antara mulut pintu kelas, terbiarkan diinjak-injak oleh banyak pasang sepatu yang kini sudah merubah warna aslinya. Gun yang memilih warna itu.

Biru.

Warna yang merepresentasikan kepercayaan, kesetiaan, ketulusan, kebijaksanaan, dan kepercayaan diri. Alih-alih menjadi menjadi kenyataan, Gun merasa apa yang sudah dia lakukan adalah sebuah kekeliruan sebab nyatanya kini ia merasa menenun kembali kepercayaan diri yang terkoyak terasa jauh lebih sulit untuk dilakukan dibanding menenun selimut dengan jumlah ribuan.

"Kau bawa apa?"

Perhatian Gun teralihkan. Ia menatap Neo dengan ekspresi hambar—menebak apa sekiranya yang akan dilakukan oleh pria itu selanjutnya.

"Kau bawa bekal? Untuk Off Jumpol?" Neo mengakhiri pertanyaannya dengan gelak tawa yang bersambut di seisi kelas. Lelaki itu menggelengkan kepalanya lalu berkata, "Aku ingin membantumu. Biar kuberi tahu, Off tidak akan memakan apapun kecuali makanan itu dimasak oleh chef. Kau seorang chef? Tentu saja bukan."

Gun masih begeming ketika kotak bekal yang dibawanya kini berpindah tangan pada kuasa Neo. Ia membiarkan laki-laki menyebalkan itu membukanya tanpa izin.

"Wow!" serunya dengan ekspresi terkejut—yang entah kenapa terlihat seperti ekspresi mengejek di mata Gun. "Kau benar-benar berniat membuat Off Jumpol takluk, ya? Tapi biar aku yang mencicipinya terlebih dahulu."

"Jangan, Neo!" sebuah suara lantang yang berasal dari sudut kelas menghentikan gerakan tangan Neo yang hampir memasukkan sebuah onigiri ke dalam mulutnya.

"Kenapa?" lelaki itu bertanya serius, tampak kesal karena diganggu.

"Jangan makan apapun dari bento itu. Itu dibuat oleh seorang gay. Apa kau tidak takut kau akan ikut menjadi gay jika memakannya?"

Wajah Neo yang semula mengetat lantas mengendur seiiring tawanya yang menyembur meriuhkan penjuru kelas. Tak hanya Neo, kini seisi kelaspun ikut tertawa mendengar celetukan penuh hinaan itu.

"Kau benar." Neo menyerahkan kembali kotak bekal tersebut pada Gun. "Nah, kau bawa kembali bekalmu ini. Berikan kepada Off, siapa tahu sihir gaymu bisa membuatnya menjadi berselera pada lubang anal."

Tawa kembali pecah dan kesabaran Gun sudah berada di ambang batas. Ia melempar isi bekalnya tepat di wajah Neo dan seisi kelas seketika hening—tidak menyangka dengan tindakan Gun yang kelewat berani.

"Oh, maafkan aku. Isi bekalku sudah dihinggapi lalat jadi aku ingin membuangnya dan aku pikir wajahmu adalah tong sampah karena sedari tadi kau berbicara aku mencium aroma tidak mengenakkan dari mulutmu, seperti bau limbah." Gun langsung berlalu meninggalkan kelas, tidak peduli jika setelah ini ia akan mendapatkan masalah yang lebih besar karena keberaniannya mengibarkan bendera perang kepada senior. Ia tidak akan membiarkan orang lain menginjak harga dirinya. Perasaannya adalah urusannya dan Off, orang lain tidak berhak dan tidak ia perkenankan untuk ikut campur.

"Itu surat-surat darimu?"

Gun yang hampir berbelok di ujung koridor lantas menghentikan langkahnya begitu mendengar sebuah alunan suara yang sudah mengakrabkan diri dengan indera pendengarannya.

Off Jumpol berdiri di anak tangga pertama yang menuju lantai dua. Di balik kacamatanya, Gun tahu bahwa sepasang mata sipit itu tengah menatap padanya dengan penuh penghakiman meski ekspresi dari lawan bicaranya saat ini terbilang datar, tanpa emosi yang bisa diterka oleh intuisi.

"Jawab! Surat-surat itu darimu?!"

Gun tersentak ketika nada suara Off terdengar meninggi. "I-iya. Maafkan aku karena aku mencintaimu," jawab Gun tersendat oleh keterkejutannya. Ia mengutuk diri sendiri yang kehilangan keberanian. Kemana sikap angkuhnya saat berhadapan dengan Neo tadi?

Harap Tak BersisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang