04. Don't Be A Jerk

168 15 3
                                    

Dinginnya angin malam menabrak wajah Malvian ketika pintu besi yang setengah terbuka didorong oleh kuasanya, sebuah gerbang pemisah antara area dalam gedung kantor dan puncak tertinggi bangunan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dinginnya angin malam menabrak wajah Malvian ketika pintu besi yang setengah terbuka didorong oleh kuasanya, sebuah gerbang pemisah antara area dalam gedung kantor dan puncak tertinggi bangunan. Semilir sejuk itu tidak terlalu agresif, tetapi juga enggan mau menyentuh dengan manja kulit Tuan Isaac dengan kesejukan.

Helaan napas bebas begitu saja dari celah bibir Malvian, seolah tiap embusan mampu membawa pergi beban di pundak dan menarik lurus semua benang kusut dalam pikiran. Tangannya lantas terangkat untuk memijat bahu hingga leher belakang yang pegal lantaran terlampau lama duduk di bangku, lalu tungkai beralaskan sepatu hitam mengkilap mulai terayun pelan menuju dinding pembatas yang dihuni seorang lelaki hampir sebaya dengannya.

Semakin hilang jarak antara mereka, kian jelas pula kepulan asap yang berdansa ria sebelum memudar ditelan angin malam. "Tumben nggak langsung pulang," komentar Malvian sambil membuka bungkusan sigaret yang tergeletak di atas tembok pembatas. Batang nikotin itu kini terapit di sela telunjuk dan jari tengah.

"Bacot banget ini setan satu," balas lelaki pemilik nama Jehan Aksara Isaac –kerap disapa Jen, yang tak lain adalah sepupu dari sang pendatang. Keterkejutannya jelas mewarnai dari gerak tubuh yang terlonjak samar saat frasa Malvian melayang di sekitar.

"Abis putus lo?" tanya Malvian lagi seolah tidak peduli dengan nada ketus yang lelaki itu lemparkan. Garis frustasi dan rambut berantakan justru menjadi titik fokusnya saat menatap pemilik senyum bulan sabit di samping kanan.

"Nyambung aja enggak, gimana bisa putus."

Malvian sontak tertawa dengan kisah asmara sang adik sepupu yang selalu terjebak dalam hubungan tanpa status. "Takut amat terikat. Menjalin hubungan enggak serumit itu, Jen. Lari mulu lo kalau udah bahas komitmen."

"Ngomong sama diri lo yang udah nikahin Luna tapi enggak tau mau bawa itu cewe ke mana."

Balasan Jehan jelas menampar Malvian lebih keras dari tangan mana pun, karena kali ini yang sakit adalah pikiran dan hatinya. Sigaret di sela jemari diselipkan ke bilah kenyal sebelum membawa tangan sang sepupu untuk memindahkan api ke batang nikotin miliknya. Pipi Malvian menirus ketika rokok itu dihisap kuat-kuat agar merah panas menyala di ujung sana.

"Kenapa? Nggak bisa jawab?" tanya Jehan lagi sambil memantik sigaret agar abunya jatuh ke bawah. "Justru manusia kaya lo yang bikin gue mikir-mikir lagi buat berkomitmen. Jadi, simpan semua komentar itu untuk diri lo sendiri."

Senyum simpul Malvian lepaskan. Jempol tangannya mulai mengusap pelan cincin putih di jari manis, sebuah simbol kecil bahwa dia telah mengikat janji dengan seorang gadis. "Makanya jangan jadi kaya gue," balas lelaki itu pelan sambil kembali mengisap dalam batang beracun yang menjadi candu.

"Oper sini aja kalau nggak bisa diterusin." Asap rokok Jehan dilepaskan tepat di samping rahang tajam Malvian. Seringai terpasang angkuh di bibir tipisnya kala keruh menghiasi wajah lawan bicara. "Kurang apa, sih, seorang Luna Lahfah Rajani?"

Mi Cherry Honey ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang