Napas Malvian terdengar halus dan pelan, menerpa selimut yang berada dalam pelukan. Aroma manis semerbak berlomba masuk dalam penciumannya, membuat lelaki itu kian dilanda dengan badai rindu yang tak tertahan.
Kamar Luna menjadi tempat persinggahannya malam ini. Dingin dari bantal saat pertama kali Malvian sentuh menjadi pertanda bahwa kasur itu telah lama ditinggal oleh sang pemilik.
Malvian peluk kian erat selimut dan menyimpan semua aroma Luna dalam memori, menggores tajam bagai sapuan ujung pedang pada batang pohon. Lantas pandangannya pun menyapu semua hal yang ada di kamar si manis.
Bando merah masih tergeletak di depan cermin hias, biasa digunakan perempuan itu untuk menghalau rambut yang jatuh ke wajah saat berdandan. Jubah tidur yang membungkus tubuhnya ketika malam terakhir Malvian berkunjung pun masih menjuntai di samping lemari.
Semua masih terasa seperti kemarin, atau memang sebenarnya waktu belum berjalan selama itu, hanya saja hati Malvian terlalu merindu dan membuat skenario bahwa Luna sudah lama tidak ia temui. Jauh pandangannya menjamah semua benda kepunyaan si manis, berharap usaha kecil itu bisa sedikit menenangkan jiwanya yang meraung-raung minta ditenangkan sang istri.
Ketika gawai yang disembunyikan dalam saku terasa bergetar, Malvian letakkan kembali kain dingin yang menemani malam terakhir Luna di sini, sebab jemari lelaki itu kini terlalu sibuk untuk menyapu layar redup yang menampilkan sederet huruf membentuk sebuah pesan.
Kata demi kata berlari cepat di bawah kelopak mata Malvian yang kelelahan, seperti semut pekerja. Dia mengerjap untuk menghapus bayangan itu sebelum memasukkan kembali ponsel dalam saku dan mengeluarkan selembar kertas yang telah dilipat membentuk segi panjang kecil.
Nakas jelas menarik atensi Malvian, ia rajut langkah yang berat untuk tiba di dekat sana. Lantas kertas kusut itu dia letakkan di atasnya dan merapalkan banyak doa agar Luna membaca tulisan tangan yang dia torehkan. Malvian gantungkan banyak harapan. Semoga Luna hidup dengan tenang. Semoga Luna selalu bahagia.
Tugasnya di rumah ini sudah selesai. Malvian ambil kunci dan menekan pedal gas menuju kediaman Bunda. Alam bahkan cukup peka dengan suasana hati lelaki itu. Udara malam yang masuk lewat jendela mobil membelai pelan wajahnya, teduh dan tenang, selaras dengan suara binatang yang menemani sepanjang perjalanan keluar dari pekarangan rumah.
"Kamu mengerikan, An."
Tawa yang miris meloncat keluar dari celah bibir lelaki itu. Kalimat yang Luna keluarkan kembali menggema dalam otaknya selayak melodi penuh kemurkaan dan keputus-asaan. Namun, serpihan-serpihan ingatan ketika dia menyakiti si manis membuat lelaki itu semakin yakin dengan jalan yang dia pilih.
"Gue enggak gugat cerai pas lo ketahuan sakit jiwa harusnya lo bersyukur." Benar, Luna. Malvian tidak tahu diri.
Seiring dengan semakin banyaknya suara yang menyudutkan dan menempatkan Malvian dalam posisi tak berkutik, semakin kuat pula kakinya menekan pedal gas, berharap bisa cepat bertemu dengan Bunda untuk meminta sebuah pelukan, atau akan lebih baik apabila Tuhan langsung yang memeluk jiwanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mi Cherry Honey ✔
RomansaLuna tumbuh di lingkungan yang sama dengan Malvian. Sejak kecil, gadis itu selalu membawa serta nama sang sahabat dalam tiap lembar kehidupan. Keduanya kerap kali berbagi kisah dan berkeluh kesah sampai rasanya tidak ada rahasia di antara mereka. La...