03. Let's Make It Easy

203 30 26
                                    

Dari satu sampai sepuluh, di angka berapa tingkat kesulitan untuk membuka mata dan bangkit dari ranjang saat matahari datang menyapa dengan sinar kuning megah yang hangat? Agaknya Malvian akan menjawab seratus

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dari satu sampai sepuluh, di angka berapa tingkat kesulitan untuk membuka mata dan bangkit dari ranjang saat matahari datang menyapa dengan sinar kuning megah yang hangat? Agaknya Malvian akan menjawab seratus. Karena baginya saat-saat paling surgawi adalah ketika dia bergelung nyaman di bawah selimut ditemani suhu sejuk ruangan.

Mungkin Malvian akan memilih untuk mematikan alarm jika saja dirinya seorang lelaki tua yang sedang menikmati uang pensiunan, tetapi kenyataan bahwa pekerjaan sedang menanti di kantor membuat Tuan Muda Mahameru Isaac bangkit dan mempersiapkan diri menjadi budak korporat –setidaknya sampai perusahaan diterima dalam genggaman.

"Luna, kenapa masih dengan piyama?" tanya Malvian ketika berhasil menemukan sumber suara cekikan yang ternyata berasal dari dua perempuan di dapur.

Nada rendah khas bangun tidur milik Malvian membuat perempuan yang baru kembali dari cuti tersenyum simpul, lalu bergeser menjauhi Luna dan memberikan tempat untuk pemilik rumah berbicara. "Tuan," sapa Bu Nata sebelum menyibukkan diri dengan sarapan.

Lelaki itu balas tersenyum sebelum kembali menaruh atensi penuh pada Luna yang terlihat ogah-ogahan untuk memulai harinya. "Bukannya kamu ada janji sama Pak Jepri?"

"Biar Pak Jepri yang tungguin aku hari ini."

Jawaban itu menghasilkan helaan napas yang teramat panjang dari Malvian. Hidup bersama dalam waktu tidak singkat jelas membuatnya mengerti jika Luna mungkin akan berpikir bahwa dia bisa membalas apa yang dilakukan dosennya kemarin, tetapi demi Tuhan, gadis itu tidak sedang berurusan dengan orang yang apabila dia merajuk akan mengirimkan pesan 'P, ngambek, ya?'.

"Mana bisa kaya gitu, Luna."

"Bisa kalau aku enggak pergi, terus Pak Jepri bisa apa?" Sandal putih berbulu di kaki Luna bergemercing ketika sang empu membawanya menuju meja makan. Wajah bantal gadis itu menoleh ke arah Malvian yang kini sudah bersidekap di samping kirinya.

"Kamu yakin? Kamu sendiri yang bilang kalau Pak Jepri enggak akan melakukan itu jika beliau bukan di situasi sibuk." Jemari yang menyelimuti lengan akhirnya Malvian bawa untuk merapikan rambut depan Luna yang mencuat karena bekas tidur semalam, membuat gadis itu terpejam sejenak menikmati elusan ringan di helaian surai kemerahannya. "Jadi pergi aja, ya? Memangnya kamu enggak mau cepat seminar?"

"Tapi aku malas siap-siap," keluh Luna. Membanting punggung pada sandaran kursi dan menatap suaminya dengan kening berkerut.

"Aku mandiin, mau?"

Malvian tidak berniat untuk mengancam atau mengambil kesempatan. Dia mengatakan itu dengan maksud yang tulus agar Luna mau bergegas, tetapi melihat si manis spontan bangkit sambil menghentakkan kaki ketika kalimat melayang jelas membuatnya menjadi malu sendiri. Terlebih saat Bu Nata menutup mulut menahan senyum yang mungkin mekar kelewat lebar pagi itu.

Menjadi pura-pura bodoh adalah apa yang Malvian lakukan sampai mereka meninggalkan rumah. Kembali memulai hari seperti biasa dengan membelah jalanan hitam pekat yang basah karena hujan semalam. Aroma basah dari tanah menyapa penciuman saat mobil keduanya melaju melewati hutan sambil menurunkan kaca jendela. Namun, ada hal yang mengganggu lelaki itu sekarang, tak lain adalah sikap Luna mendadak hening mengalahkan gemersik angin di dedaunan.

Mi Cherry Honey ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang