28. You Hurt A Little, You Learn A Little

46 9 0
                                    

Dengan tangan yang bergetar hebat, Luna tampak bersusah payah menghapus riasan tipis yang menemani sepanjang perjalanan menuju rumah Paman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dengan tangan yang bergetar hebat, Luna tampak bersusah payah menghapus riasan tipis yang menemani sepanjang perjalanan menuju rumah Paman. Selepas berkunjung ke pusara orang tuanya, perempuan itu kembali melanjutkan perjalanan untuk menenangkan diri sejenak agar fokus mempelajari sidang minggu depan, dan di sinilah dia sekarang, berdiri di depan cermin dengan baju setengah basah dan wajah yang berantakan.

Nyaring dari bunyi ponsel membuat bahu Luna terperanjat. Tungkainya secara spontan bergerak untuk mengambil gawai yang tergeletak di atas ranjang, tetapi nyeri pada bagian kaki membuat perempuan itu menghentikan langkah. Luna tatap dalam perban yang sudah berantakan akibat dibawa bergerak dan terhiasi tanah liat di sekitarnya, menutupi luka bekas perseteruan dengan Malvian. Sulur perih yang mengalir di dadanya tak bisa disembunyikan sebab kedua bola mata kembali mengeluarkan cairan.

"Malvian A-nya anjing!" Kesal sekali rasanya. Luna ingin memaki di depan wajah tampan lelaki itu. Sialan, bahkan saat dalam situasi sebal pun kata tampan tidak bisa lepas dari nama Malvian, melekat seperti besi dan magnet. "Ganteng doang, tapi nyakitin," ucapnya lagi sebelum melangkah ke kamar mandi dan mengabaikan dering ponsel yang terus berteriak kesetanan.

Sunyi senyap di kamar Luna pecah sebab jarum jam bergerak maju melewati tiap titik yang terpahat di pinggirnya. Detik berganti menit, menit berganti jam, dan jam berganti hari. Terhitung sudah hampir seminggu perempuan itu menghabiskan waktu di rumah Paman tanpa adanya aroma Malvian yang menemani.

Tak ada upaya dari lelaki itu untuk menghubungi. Luna marah, rindu, dan sedih, tetapi jauh dalam lubuk hatinya, dia berharap Malvian datang mengunjungi dan memperbaiki semua ini agar mereka bersama lagi.

Mungkin, jika yang lebih tua meminta maaf, Luna akan memaafkan sebab dia tidak punya banyak orang di sisinya. Namun, Malvian enggan berusaha, seolah ketidak-hadiran si manis bukan sesuatu yang mengganggunya.

Lantas, Luna kembali membawa fokus pada layar di depan, sebab memikirkan Malvian hanya akan membuat perempuan itu menangis kembali. Mengerjakan power point untuk sidang besok terdengar lebih berguna daripada menyalahkan diri sendiri atas semua yang telah terjadi.

Kertas bertuliskan banyak catatan penelitian kini menerima satu tetes air. Kilatan kaca yang sejak tadi berusaha Luna tahan telah percah dan jatuh berhamburan melewati garis pipi. "Ish, kenapa, sih?" bisiknya seraya memindahkan laptop dari pangkuan dan menghapus kasar jejak basah di wajah.

Kulit si manis menerima sapuan angin dari jendela yang masih terbuka. Gordennya menjilat-jilat meja kecil sebab dorongan kuat dari luar terus saja berusaha menerobos untuk menyentuh Luna. Rumah Paman yang berada agak jauh dari pemukiman membuat suasana sunyi menjadi kian melankolis dengan adanya ragam bunyi yang berasal dari semak dan hutan di luar.

Luna tinggalkan semua berkas dan laptopnya untuk menyeret langkah mendekati sumber dingin di kamar. Kakinya terangkat guna membawa tubuh naik ke atas jendela tanpa jeruji, sehingga si manis bisa leluasa duduk di atas kosen dengan kedua tungkai menjuntai ke luar. Lampu perantara yang bersinar hebat membuat perempuan itu tidak was-was tentang hal mengerikan apa yang mungkin ada di sana.

Alam masih berisik. Suara jangkrik saling bersahutan. Pohon besar yang berada di samping kamar dihuni oleh keluarga kecil burung gereja, suara bayi-bayi mereka terdengar bernyanyi ketika sang induk sedikit bergerak. Luna langsung menghela napas panjang, suasana ini seharusnya mampu membawa ketenangan, tetapi tak ada hal lain yang bisa dia rasakan kecuali kegelisahan.

"Malvian jam segini ngapain, ya?" tanya Luna pada sapuan angin yang membelai surai kemerahannya. Kepala si manis bersandar pada kosen, tangannya memeluk diri sendiri. "Dingin banget, tapi yang bisa dipeluk cuma agama."

Komunikasi harusnya bukan sesuatu yang susah, tetapi ketika dua orang terlibat dalam masalah, entah kenapa untuk sekadar bertukar pesan terasa sangat amat berat. Sama halnya dengan Luna yang kembali mendengar bunyi ponsel, dia tebak panggilan itu berasa dari Dipa. Sejak hari semuanya terungkap, si manis tidak lagi membuka ruang obrolan mereka.

Luna masih butuh waktu untuk berpikir. Dia merasa dikhianati oleh temannya yang cuma seorang itu. Sialan, hidup ini akan lebih mudah apabila kita tidak punya rasa sayang pada sesama manusia yang pada akhirnya berpotensi membuat kecewa juga. Namun, yang lebih sialnya lagi, setelah semua yang terjadi, Luna tidak bisa berhenti memikirkan suami dan sahabatnya, berujung dengan tangisan sebab tak ada hal lain yang bisa dia lakukan.

"Luna?"

Perempuan itu terperanjat. Suara Bibi terlampau tiba-tiba sampai membuatnya hampir meloncat keluar. "Iya?" jawab Luna setelah membalikkan badan dan turun dari jendela. Gorden masih berusaha menjilat apa saja yang ada di sana sehingga rambut kemerahan itu sedikit berantakan, sama seperti wajahnya.

"Minum susunya dulu."

Bibi merawat dan menyambut baik kehadiran Luna di sini, tetapi wanita paruh baya itu tidak pernah memaksa si manis untuk cerita meskipun sembab selalu menghiasi wajah cantiknya. Mungkin Malvian sudah lebih dulu berpesan, atau mungkin Bibi tau entah dari mana, yang pasti Luna bersyukur karena dirinya merasa diberi waktu untuk tenang tanpa harus menjabarkan hal yang membuatnya kembali sakit apabila mengingat ulang.

"Terima kasih." Luna sambut gelas dari tangan Bibi dan menempatkan benda itu di sebelah kiri; pada meja dekat jendela. "Paman udah pulang?"

Bibi mengangguk dengan senyum tersemat di wajah. Lalu langkahnya merajut untuk berdiri di samping Luna yang masih dipeluk oleh angin malam. "Apa enggak dingin?" tanya Bibi sambil menarik jendela untuk menghalau dinginnya suasana malam.

"Enggak terlalu," jawab Luna, tetapi tidak membantah saat Bibi memblokir akses bagi alam untuk melihatnya malam itu. "Besok Luna sidang."

"Paman udah bilang," jawab Bibi seraya meremat kedua bahu Luna dan menatap lurus pada obsidian senada madu milik perempuan itu. "Semangat, nggak semua hal harus Luna kendalikan. Terkadang sesuatu terjadi karena itu memang harus terjadi."

Sontak bibir si manis melengkung ke bawah, yang mana membuat Bibi langsung menggeleng pelan dengan mempertahankan senyum simpul karena pemadangan itu membuat dadanya ikut nyeri. Awalnya hanya tentang kesedihan Luna, lama-lama merambat ke semua hal. Kakaknya yang meninggal. Keponakannya yang menjadi sebatang kara. Lalu kini, anak itu kembali dibuat tidak bisa hidup dengan tenang.

"Bibi di sini kalau kamu mau cerita. Bibi di sini kalau kamu mau didengar."

"Bi ... sedih banget."

"Iya, Sayang." Bibi hapus air mata Luna yang berlomba menyentuh lantai. "Nggak apa-apa. Bibi nggak bisa nasehati kalau kamu enggak cerita. Tapi, Luna nggak harus ceritain kalau memang belum bisa."

"Mau peluk."

Kedua lengan wanita paruh baya itu langsung terbuka lebar. "Boleh, Sayang. Bocil kesayangan Bibi sekarang lagi menghadapi jahatnya dunia, ya?" Jarak yang kurang dari satu meter itu langsung lenyap kala Luna berhambur ke pelukan. "Nggak apa-apa. You hurt a little, you learn a little, Sayang. That's okay."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mi Cherry Honey ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang