Luna berharap, sesuatu yang terdengar seperti pecahan kaca di rumahnya kala senja sedang bertengger cantik di kaki langit adalah suara dari benda jatuh atau setidaknya Bu Nata yang tidak sengaja memecahkan gelas. Namun, harapannya langsung berserakan di bawah kaki kala bunyi nyaring dari benturan keramik disebabkan oleh Malvian yang melempar vas bunga.
Bahagia dan hangatnya hubungan mereka semalam luruh tak tersisa ketika Malvian pulang dari kantor dengan wajah masam betul, keringat bercucuran di pelipis, lengan baju yang digulung hingga siku, dan menyapa penghuni rumah dengan lemparan keras pada dinding di ruang tamu.
Degup jantung Luna berhenti sekejap sebelum berdetak tak karuan manakala tubuhnya kini berdiri lima meter dari tempat Malvian berada, juga menyaksikan keramik mahal yang hancur tak berbentuk di atas lantai.
"Kamu apa-apaan, sih, An?!" Tinggi nada itu Luna keluarkan, sebagaimana hatinya yang juga ingin berteriak marah. "Ngomong, An. Bukan ngamuk. Kamu sendiri yang bilang gitu, kan?"
"Kamu nggak butuh aku lagi, ya?" Tanya dibalas tanya oleh Malvian di tempatnya berdiri, dengan nada rendah dan setengah menggeram, juga obsidian kelewat tajam untuk keberlangsungan mental Luna yang sejak tadi sudah lemas duluan.
Tiga sekon, selama tiga sekon si manis mengunci mulutnya dengan tatapan paling skeptis yang dia punya, membuat Malvian semakin geram sehingga langkahnya kini memotong jarak untuk kian dekat dengan gadis itu.
"Jawab, Luna. Masih punya mulut, kan?" Kembali Malvian bertanya, tetapi kini tangannya mencengkram tertahan rahang sang istri sampai membuat Luna mendongak dengan alis saling bertautan, juga tatapan tak kalah tajam dari milik Malvian yang menyelam dalam obsidiannya.
"Apaan, sih, Brengsek?"
Hal yang paling lelaki itu benci adalah ditantang balik. Kerasnya Luna sama sekali tidak membantu menenangkan amarah yang bergejolak dalam diri seorang Malvian. Alih-alih menyakiti si manis semakin jauh, dia lepaskan cengkramannya dan membiarkan Luna mengambil jarak mundur.
"Kenapa enggak cerita kalau kamu dapat terror lewat pesan?"
Ah, begitu. Kini Luna mengerti, tetapi masih belum cukup paham kenapa Malvian bertindak sejauh ini. "Cuma orang iseng," jelasnya dengan tangga nada yang tidak setinggi tadi.
Helaan napas gusar lelaki itu mengudara, menciptakan atmosfer tegang ketika helai hitam legam disugar kasar oleh jemari. "Orang iseng apa?" tanya Malvian seraya berkacak pinggang. Tatapannya kembali menyorot Luna dengan raut paling tenang yang bisa dia lakukan sekarang. Tenang dalam artian tak mengacak isi rumah karena putra tunggal Tuan Isaac sedang berusaha untuk membuat istrinya tidak ketakutan. "Orang iseng apa yang effort mencari foto itu lagi? Foto itu udah dihapus dari semua media, Luna. Dan kamu, jangan pernah memaki, pakai lo-gue sama aku, yang sopan kalau udah salah, jangan melawan."
"Salah apaan, sih, An? Emang aku abis ngelakuin apa?"
"Nyembunyiin hal sebesar itu dari aku. Bilang, Luna. Apa-apa bilang sama aku. Cuma aku yang bisa jagain kamu."
Tawa yang sumbang serta-merta lolos dari bilah tebal gadis itu. "Melindungi dari apa? Emang kamu pernah bilang apa-apa sama aku?"
Pertanyaan itu jelas membuat Malvian mendongak menahan emosi. Jas hitam yang sejak tadi digenggam kini jatuh berserakan di sudut dinding sebab dilempar oleh sang empu. Dadanya membusung sebab tarikan napas kelewat dalam, entah karena memang butuh, atau sebagai sebuah upaya untuk mengontrol diri.
"Jangan keras kepala," kata Malvian ketika sudah berhasil menguasai nadanya. "Jangan kaya anak kecil," lanjut lelaki itu dengan tutur paling lembut yang dia bisa.
"Oh." Cepat respon itu diberikan Luna. "Aku anak kecil? Yaudah, balik aja sana sama tante-tante mantan kamu."
Agaknya gadis di depan Malvian memang dikirim Tuhan untuk menguji kesabaran dan keimanan lelaki itu. Manakala ia sudah berusaha tenang, ada saja kalimat yang dilepaskan Luna sehingga membuat laju napas kembali berubah tak beraturan.
Dia pejamkan dua kelopak indah sebelum kembali menatap obsidian Luna yang lebih bersinar dari langit malam. "Kenapa jadi ke sana?" Masih dengan nada rendah pertanyaan itu dilepaskan, berharap Luna tidak menjawab sesuatu yang semakin membuatnya lepas.
"Ya aku, kan, anak kecil, makanya apa-apa harus cerita sama kamu. Kalau kamu, kan, orang dewasa, makanya nggak pernah diskusi apa-apa sama aku, nggak pernah kasih tau apa-apa sama aku."
"Apa lagi yang mau kamu tau?"
"Kamu nggak pernah kasih tau aku kalau kamu punya mantan!?"
"Buat apa, Luna? Sekarang aku udah sama kamu."
"Aku mau tau, aku juga mau dengar tentang kamu, An. Kita nggak kenal kemarin sore, kita kenal dari kecil! Tapi aku enggak tau apa-apa tentang kamu."
Kecewanya Luna kali ini bukan perkara membahas masa lalu Malvian, tetapi menyadari kalau eksistensinya tidak begitu berarti sehingga lagi-lagi membuat gadis itu merasa bukan sesuatu yang penting bahkan saat mereka sudah bersama sejak dulu.
Mungkin jika Luna dan Malvian tidak saling mengenal sebelum akhirnya mereka menikah, gadis itu tidak akan mempermasalahkan apa pun tentang masa lalu pasangannya, tetapi permasalahan mereka bukan hanya sekadar orang lama.
"Nggak ada yang penting." Lagi, Malvian mengulanginya.
"Apa-apa enggak penting. Semua. Semua enggak penting, brengsek. Kayanya gue enggak bisa, deh, sama lo. Mending kita cerai aja."
Hilang sudah kesabaran Malvian menghadapi gadis itu. Dengan aroma kecewa yang kuat, dia tinggalkan tempat mereka beradu tatap dan membanting pintu untuk beranjak dari sana karena jika berdiri lebih lama mungkin dia akan menghancurkan seisi rumah, juga meninggalkan Luna yang semua kalimatnya terasa tidak berarti apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mi Cherry Honey ✔
RomanceLuna tumbuh di lingkungan yang sama dengan Malvian. Sejak kecil, gadis itu selalu membawa serta nama sang sahabat dalam tiap lembar kehidupan. Keduanya kerap kali berbagi kisah dan berkeluh kesah sampai rasanya tidak ada rahasia di antara mereka. La...