16. I'm Scared

66 6 0
                                    

Daroi adalah sebuah sungai kecil yang berada di dalam perkebunan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Daroi adalah sebuah sungai kecil yang berada di dalam perkebunan. Terlalu kecil untuk memakan korban karena hanyut di dalamnya, tetapi cukup besar jika digunakan sebagai sumber air bersih warga di desa itu meskipun volumenya sudah berkurang karena pohon sawit menyerap banyak cairan.

Surai kemerahan Luna berkilau di bawah sinar matahari ketika kedua kakinya menyatu dengan pasir kasar keemasan. Desahan pelan meluncur dari bibir senada merah delima kala dingin yang disajikan air menyentuh kulitnya. Lelah resah setelah melakukan penelitian seakan diserap dahsyat oleh alam dan digantikan dengan ketenangan; bahagia, damai, dan segala emosi yang menyenangkan.

Panas matahari di pedesaan tidak terasa seperti terbakar; tidak mengamuk meskipun cahayanya berpendar dengan hebat, sehingga di tengah siang yang terik itu Luna tetap mendongak sambil terpejam. Dada si manis membusung indikasi sang empu sedang menarik napas panjang. Nyanyian burung di pepohonan ikut merayakan kedamaian yang sudah lama dia rindukan.

"Luna?"

Tidak berlangsung lama ketenangan itu dinikmati sebab namanya baru saja meluncur dari bibir orang yang amat dihindari hari ini, bahkan Luna pergi ke kebun diam-diam bersama sopir karena dia terlalu muak untuk menatap wajah Malvian di pagi buta yang terlampau damai.

"Luna? Kamu dengar, kan?" Lagi, Malvian mencoba menarik atensi. Berdiri di atas batu besar di samping sungai dengan kedua tangan bersembunyi dalam saku celana.

Sang empu nama cantik itu enggan menyahuti, tidak pula menoleh sebab dia tahu di mana Malvian berdiri; tepat di belakangnya. Pandangan Luna justru menunduk untuk menangkap segerombolan ikan kecil yang mengelilingi kaki; lamat-lamat juga berpendar pada bekas bakar di dada, yang mana membuat hatinya kembali meringis sakit.

Bajingan, batin Luna; ingin berteriak keras sampai burung di pepohonan beterbangan karena suaranya, tetapi dia menarik kembali niat itu, menggantinya dengan helaan napas yang panjang. Namun, kala kaki beranjak untuk meninggalkan Malvian, lelaki itu justru ikut turun ke dalam sungai dan meremat lengan Luna dengan hati-hati, menarik tubuh yang lebih kecil untuk berbalik menghadap dirinya.

Luna menurut, patuh pada posisi yang Malvian inginkan. Obsidian cokelat terang mengintip lewat celah bulu mata yang lentik untuk menangkap wajah lelaki di depannya. Pada posisi saling berhadapan, dalam jarak kurang dari 30 cm, saling mengunci lewat pandangan, tetapi tidak ada yang berhasil membuka mulut.

"Kamu masih marah?" Butuh waktu seperkian detik untuk Malvian bersuara dan sebuah pertanyaan bodoh keluar begitu saja. Dia menyesali, terlebih ketika helaan napas Luna terdengar muak di depannya.

Pakai nanya lagi, Anjing, batin Luna lagi sambil melepaskan tangan yang masih berlabuh di lengannya. "Kamu kali yang marah, mobilnya rusak nabrak pohon," jawab gadis itu seraya menyilangkan tangan di depan dada.

Terlalu ringan pernyataan yang dikeluarkan, tetapi cukup berdampak bagi Malvian, terbukti dengan mulutnya menganga lebar dan kepala yang menggeleng hebat. "Demi Tuhan, Luna. Aku enggak peduli sama mobilnya."

"Terus, kenapa marah sampai sebegitunya?"

"Aku enggak marah."

Decihan menjadi balasan. Luna menyeringai dan menggeleng pelan. "Tempat sepatu aku, hancur, An," katanya lirih. Masih tak habis pikir dengan respon yang diberikan lelaki itu tiap ada masalah yang menimpa mereka; yang sejujurnya bukan masalah besar jika Luna boleh berkomentar. "Kamu nyundutin rokok di kulit aku, mar-"

"Sumpah, aku enggak melakukan itu karena aku marah sama kamu. Demi Tuhan, Luna. Aku enggak sejahat itu."

Saat kesempatan bicaranya diserobot, Luna kembali memasang seringai. Lantas dia turunkan kain yang membungkus kulit dada dan menampilkan luka bakar karya Malvian semalam. "Marahnya kamu mengerikan. Kamu ... mengerikan, An. Aku mulai takut."

Tubuh tegap Malvian seketika melemas. Tangannya jatuh tanpa daya di sisian tubuh. Bola mata lelaki itu bergetar, tetapi tidak menangis; tidak mengeluarkan cairan, hanya saja tatapan itu lebih terlihat menyakitkan karena jauh di dalamnya memancarkan kekecewaan, menyajikan keputus-asaan, menampilkan emosi penuh penyesalan.

"Maaf." Malvian tahu kata itu tidak berguna. "Maaf karena kamu harus terjebak sama aku, Lulu."

Panggilan itu menyakiti Luna. Bocah laki-laki tanpa dosa dengan hati yang murni menyematkan nama 'lulu' untuknya, bukan pria penuh emosi dan kasar seperti Malvian saat ini. Panggilan itu lebih menyakiti Luna sebab dia menyadari betapa hebat dunia merubah teman bermainnya menjadi seperti sekarang.

"Kita nggak bisa, ya, kayak orang lain?" tanya Luna dengan suara yang goyah, bergetar menahan tangisan. "Hubungan kita ini sebenarnya apa, sih, An?"

Malvian tidak tahu. Dia tidak mengerti. Namun, satu hal yang pasti, ketika lelaki itu mengatakan bahwa dia mencintai Luna, perasaan dan logikanya juga menyetujui.

Keheningan yang menari tidak bertahan lama sebab seorang kakek dengan perlengkapan berkebun menegur mereka; sopan dan hangat, mengatakan bahwa sebaiknya pasangan itu bergegas untuk kembali ke vila. Matahari sudah mulai tergelincir, bukan tidak mungkin untuk badai kemarin berkunjung lagi.

Luna dengan amat terpaksa harus masuk ke dalam mobil Malvian sebab sopir yang mengantarnya pagi tadi sudah diperintahkan untuk kembali ke vila oleh lelaki itu. Sial, luna ingin memaki. Sudahlah mereka kelewat hening, perjalanan pun tidak kalah lama. Betapa membosannya situasi ini, maka mengeluarkan gawai untuk bermain terdengar seperti solusi terbaik.

Gue berantem sama Malvian. Luna kirimkan pesan itu sebagai informasi yang amat sangat penting untuk diketahui oleh Dipa di seberang.

Lagi? Tidak butuh waktu lama untuk pesan itu dibalas, bak pengangguran yang kerjanya hanya menatap layar. Orang abis nikah kok masih berantem, ya? Padahal kan bisa ciuman aja.

Dia tarik kembali pernyataan bahwa bertukar pesan dengan Dipa adalah solusi terbaik, karena persetan solusi terbaik, cewek di seberang hanya menambah kadar emosi yang memang sudah timbul tenggelam dalam dirinya. Otak lo jangan ciuman mulu, napa?!

Maaf, abis baca pripater.

Embusan napas berat yang entah kali ke-berapa hari ini kembali lolos lewat celah bibir merah delima. Luna tatap lamat-lamat layar ponsel yang masih menampilkan pesan dari Dipa dan mulai berpikir untuk membalas seperti apa kalimat itu.

Gue pengen ciuman masa.

Hilang sudah keinginan Luna untuk meladeninya ketika sebuah pesan yang tidak bermoral kembali muncul di layar gawai, maka dia lembar ponsel itu ke atas dashboard mobil dan berhasil menarik atensi Malvian, tetapi lelaki itu tidak menanggapi dalam bentuk suara.

Ini hari yang menyenangkan setidaknya sampai Malvian menyusul ke kebun; menyenangkan sebab semua data dan informasi yang Luna butuhkan sudah tercatat rapi untuk bahan penelitian. Namun, suasana hatinya mendadak berubah kala lelaki itu menghampiri.

Tidak, Luna jelastidak membenci Malvian. Dia hanya membenci kenyataan bahwa mereka belummenemukan jalan tengah ketika terlibat dalam sebuah ketegangan.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mi Cherry Honey ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang