Dedaunan yang digoyangkan angin menjadi tempat bagi pandangan Luna berlabuh kala tubuh bertumpu pada bangku putih dekat jendela. Di luar sana, hamparan rumput luas membentang dengan pencahayaan dari sinar rembulan. Gadis itu mulai berpikir, akankah menyenangkan jika dia turun dan merebahkan tubuh di atas lembabnya embun yang mampu menghantar gigil ke tulang? Sehingga dia mulai melupakan perang dingin yang terjadi di rumah mereka. Atau mungkin sekadar menghirup udara bebas untuk menjernihkan pikiran sebagaimana tajamnya udara malam itu.
Sayangnya, Luna tidak melakukan satu pun dari semua yang terlintas di otak. Kendati demikian, ia justru kembali menyesap cairan panas dari wadah keramik merah muda. Bibir yang meninggalkan jejak susu dijilatinya setelah menyelimuti permukaan hangat dengan kedua telapak tangan, menggenggam hati-hati gelas itu guna menghalau dingin yang menggores jemarinya.
Suara kenop yang diputar membuat gadis itu menghadap ke arah pintu, menurunkan kedua kaki dari bangku seraya meletakkan minuman di atas meja sebelah kanan. Kemudian, sosok dalam balutan setelan formal bewarna gelap muncul begitu saja sambil menenteng sebuah kain merah di tangan.
"Ganti bajumu, Luna. Kita akan menghadiri pelantikanku sebagai direktur utama perusahaan Ayah," katanya tanpa basa basi. Seolah diam dan dinginnya suasana rumah mereka sejak pagi bukanlah masalah yang harus dibicarakan oleh lelaki itu terlebih dahulu sebelum mengajak Luna untuk ikut dengannya.
"Kamu aja, aku enggak ikut," jawab sang empu obsidian cokelat terang yang kini sedang menyorot tajam dan menyelam dalam manik Malvian.
"Pakai, Luna." Malvian berkata lagi. Kali ini tidak ingin dibantah dan hanya menerima jawaban setuju dari yang lebih muda. Namun, diamnya gadis di samping jendela membuat kesabaran lenyap bagai kepulan asap yang dibawa oleh embusan angin. "Atau mau kurobek piyamamu dan gantikan dengan gaun ini?" tanyanya dengan alis yang menukik, membalas tak kalah tajam tatapan yang dilemparkan gadis itu.
Malvian tidak pernah berlaku kasar selama bertahun-tahun mereka menghabiskan waktu Bersama. Sehingga ketika kalimat itu melayang, pecahan kaca berkilauan pun ikut andil dalam mengisi cantiknya obsidian Luna. Pandangan si manis tak beralih sedetik pun, maka dapat ia lihat sebuah gurat penyesalan muncul di garis-garis tegas wajah Malvian seiring dengan banyaknya air yang mengenang dalam matanya.
"Tiga puluh menit lagi aku kembali, Luna. Tolong jangan menimbulkan masalah lagi."
"Aku masalah untukmu, An?"
Kilauan kaca mulai runtuh dalam bentuk cairan hangat yang mengalir di pipi Luna ketika pertanyaan menyayat hati dilemparkannya. Membuat genggaman Malvian pada gaun di tangan kian mengeras selaras dengan rasa sakit yang menyapa dada. Apabila dia punya waktu untuk menjelaskan, maka Malvian akan menggunakan sebaik mungkin agar sang kasih tak menyimpan salah paham. Namun, kala gaun itu ditarik kasar oleh yang lebih muda, ia tak punya alasan lagi untuk tetap di sana, tidak setelah Luna mengusirnya keluar dan membanting pintu dengan kuat tepat di depan wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mi Cherry Honey ✔
RomantikLuna tumbuh di lingkungan yang sama dengan Malvian. Sejak kecil, gadis itu selalu membawa serta nama sang sahabat dalam tiap lembar kehidupan. Keduanya kerap kali berbagi kisah dan berkeluh kesah sampai rasanya tidak ada rahasia di antara mereka. La...