Malvian membawa segelas susu untuk diberikan pada Luna, tetapi empat panggilan sudah melayang dan gadis itu belum menyahuti sepatah kata pun. Kening si tampan mengerut pelan, lalu pintu putih di depannya dengan perlahan berusaha dia buka. Suara percikan air dari kamar mandi menyambut pendengaran ketika kedua tungkai mulai masuk ke dalam kamar si manis.
Gelas keramik Malvian letakkan di samping jendela yang terbuka. Samarnya lampu di bawah sana tetap mampu membuat retina lelaki itu menangkap empat penjaga yang Ayah kirimkan untuk mengawasi Luna.
Helaan napas Malvian terdengar berat ketika mengingat kembali pesan elektronik yang Ayah kirimkan saat Luna kecelakaan dalam perjalanan menuju kantor. Sudah dua kali, Malvian. Dua kali kamu berusaha menutupi hal yang menimpa Luna, adalah isi dari pesan tersebut, dan dia langsung keringat dingin begitu selesai membacanya waktu itu.
"An?" panggil sang pemilik kamar dengan handuk putih sebatas paha melilit tubuhnya. Langkah yang santai dia bawa mendekati Malvian sambil melirik ke arah tatapan lelaki itu di bawah sana, pada pengawal titipan Ayah. "Mereka ikutin aku dari rumah ke kampus, terus balik lagi ke rumah. Nggak mau diajak ngobrol, nggak pernah senyum, kayak robot. Sebenarnya apa yang terjadi?"
Tuan Muda Isaac langsung berbalik menghadap pada si manis sambil membawa kedua tangan untuk menarik pinggang Luna. Tubuh bagian bawah gadis itu kini diapit oleh kaki Malvian dengan kulit yang saling bersentuhan sebab keduanya mengenakan kain sebatas paha atas.
"Ayah cuma mengirim bawahannya untuk menjaga kamu, extra protection seperti beli gelas di toko online," jawab Malvian dengan analogi recehan sambil meremat pelan pinggang si manis.
Mulut Luna terbuka kecil, tetapi kembali terkatup rapat saat tidak ada kalimat yang bisa dia lemparkan. Tatapannya menyorot Malvian dengan ekspresi paling santai yang dia punya, melupakan pertanyaan-pertanyaan perihal apa yang sebenarnya terjadi saat ini. Semua kejadian belakangan terasa aneh dan tampak seperti bukan terjadi karena kebetulan semata, tetapi dia mengabaikan itu dan mencoba untuk percaya pada Malvian.
"Gimana kabar Riki?" tanya Luna sebagai bentuk pengalihan dari pembahasan pertama. Jemarinya meremat handuk di bagian dada dengan kuat agar tidak merosot, sementara tangan satu lagi mengelus pelan leher Malvian di saat dirinya masih dalam kungkungan kaki lelaki itu.
"Kaki kanan patah, dalam penyembuhan, selebihnya nggak serius. Sidang kamu kapan?"
"Bulan depan."
"Seminggu lagi?"
Luna menyengir. "Iya," jawab si manis sebelum menjerit tertahan sebab yang lebih tua tiba-tiba saja memeluk tubuhnya dan mengikis celah di antara mereka. Dalam jarak sedekat ini, Malvian luar biasa terlihat bak pahatan Dewa Yunani, sempurna. "Kamu ... nggak jadi."
Malvian putar sedikit tubuh Luna sampai pantat gadis itu bisa bertumpu di atas paha kanannya. Tangan yang terbebas dari pinggang si manis kini menarik gorden untuk memblokir pemandangan mereka ke luar sana. "Ada apa, Luna?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mi Cherry Honey ✔
RomanceLuna tumbuh di lingkungan yang sama dengan Malvian. Sejak kecil, gadis itu selalu membawa serta nama sang sahabat dalam tiap lembar kehidupan. Keduanya kerap kali berbagi kisah dan berkeluh kesah sampai rasanya tidak ada rahasia di antara mereka. La...