15. Cigarette

62 6 0
                                    

Luna menyukai hujan; aroma tanah yang basah karena tetesan dari langit, dedaunan bergerak ceria menyambut dinginnya air, juga hawa sejuk yang melambai-lambai di kulit ketika bumi dilimpahi oleh rahmat Tuhan, tetapi itu semua berlaku apabila dia du...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Luna menyukai hujan; aroma tanah yang basah karena tetesan dari langit, dedaunan bergerak ceria menyambut dinginnya air, juga hawa sejuk yang melambai-lambai di kulit ketika bumi dilimpahi oleh rahmat Tuhan, tetapi itu semua berlaku apabila dia duduk manis di jendela kamar sambil menikmati manisnya secangkir cokelat hangat dalam genggaman.

Sementara saat ini, Luna sedang berada dalam perjalanan menuju kebun sawit keluarganya untuk melakukan penelitian dari judul skripsi yang diambil. Hutan di sekeliling menjadi lebih gelap lantaran cahaya matahari tertutup oleh tebalnya awan. Suara katak dan cacing bersahutan riang gembira ikut meramaikan rintik hujan. Namun, jalanan yang becek sama sekali tidak membantu untuk membuat suasana hati si gadis ikut merasakan euphoria.

"Masih jauh?" Maka pertanyaan itu keluar sebagai bentuk rasa bosan dari pemilik rambut kemerahan, yang mana langsung disahut dengan cepat oleh sopirnya.

"Sekitar dua jam lagi, Nyonya."

Gadis itu menyengir, antara geli dan belum terbiasa dengan panggilan baru yang disematkan. "Lumayan juga," bisik Luna sebelum kembali membuang pandangan ke luar jendela.

Beriringan dengan helaan napas Luna yang berat, ban mobil secara perlahan berhenti bekerja. Hal sederhana yang mungkin saja terjadi, tetapi tetap menimbulkan tanda tanya besar di kepala gadis itu.

"Nyonya, mohon maaf, kita tidak bisa melanjutkan perjalanan."

***

Bara api yang menjilat kayu di perapian menjadi hal menarik untuk ditatap oleh sepasang obsidian cokelat terang. Terlalu dalam tatapan itu dilayangkan seolah nyala merah di sana mampu terkalahkan. Gambaran yang tajam dan menusuk, tetapi juga pasrah dalam satu waktu.

Kala mobil yang dia tumpangi mendadak mati dan menjadi tidak berguna, Malvian datang bak pangeran berkuda putih yang menjemputnya di tengah badai dan hujan lebat. Namun, rasa jengkel sekonyong-konyong membunuh akal sehat Luna sebab sang suami justu membawanya ke vila alih-alih langsung menuju kebun.

Kekesalan Luna meroket bukan karena tempat yang Malvian pilih tidak sesuai dengan standar kenyamanannya untuk tidur. Jelas vila ini menyajikan kehangatan meskipun bangunannya terbuat dari kayu dengan interior amat tradisional, tetapi fakta bahwa gadis itu tidak langsung dibawa ke kebun-lah yang menjadi penyebab bertekuknya muka si manis saat ini.

"Ngapain jauh-jauh datang dari kantor kalau cuma bawa aku menginap di sini? Kamu tau, gak, sih, An? Aku harus cepat-cepat penelitian biar terkejar semester ini sidangnya. Sehari aja penting buat aku, apalagi satu hari yang penting itu dipakai buat buang-buang waktu di sini. Ngeselin banget. Orang udah ngehubungi petani sawitnya juga." Deretan kalimat tanpa jeda dilayangkan Luna kala Malvian baru keluar dari kamar mandi dengan handuk putih melilit sempurna di pinggang. Terlalu kental akan rasa kesal dalam nada si manis sehingga tidak ada yang bisa lelaki itu lakukan selain menyeringai tampan.

Mi Cherry Honey ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang