The Half

77 14 0
                                    

Ketika kabut turun dan memenuhi permukaan kolam, Luna masih betah duduk di ayunan belakang rumah tanpa membawa baju tebal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ketika kabut turun dan memenuhi permukaan kolam, Luna masih betah duduk di ayunan belakang rumah tanpa membawa baju tebal. Tubuh gadis itu menggigil, tetapi hatinya jauh lebih dingin ketika lagi-lagi harus bertengkar dengan Malvian.

Jam menunjukkan pukul 10 malam, tetapi lelaki itu belum juga pulang. Sebagai gantinya, dia malah menyuruh Bu Nata untuk menginap, jadi Luna simpulkan jika Malvian memang sedang berusaha menghindar.

"Luna?"

Tubuh gadis itu terperanjat sebab suara dari Bu Nata menerobos lamunannya tiba-tiba. Kaki yang sejak tadi dipeluk erat dengan lengan telanjang kini jatuh terjulur untuk menapak di rumput basah, lalu kedua tangan memegang tali ayunan yang langsung kembali membuat gadis itu terkejut karena dingin dari rantai besi menyapa permukaan kulitnya.

"Tidak tidur? Sudah larut, Nak."

Luna rasanya ingin menangis kala panggilan itu mengudara, tetapi sebagai gantinya dia malah menggeleng pelan sebelum kembali duduk seperti semula. "Belum ngantuk."

Tanpa kembali beradu frasa, Bu Nata langsung memotong jarak dan menyelimuti bahu polos gadis itu dengan selimut tebal. "Badan kamu udah dingin begini, nanti demam, Luna."

Bukan tanpa alasan juga panggilan itu keluar dari bibir asisten rumah tangga, melainkan Luna sendiri yang meminta agar ia dipanggil demikian. Dia ingin kembali ke masa di mana orang tuanya masih di dunia, dan Bu Nata adalah satu-satunya sosok yang masih Luna punya dari kenangan rumah lama.

"Mau teh, Nak?" Bu Nata kembali bersuara kala gadis di depannya memilih bungkam sambil menatap kosong pada kolam dingin di sana. Pertanyaan yang terdengar begitu khawatir dan hati-hati. "Enggak apa-apa. Minum dulu." Seolah mengerti, wanita paruh baya itu berusaha menenangkan.

Lamat-lamat kedua bahu Luna yang tegang kini mulai kembali santai dengan kepala menoleh ke samping kanan, tempat di mana Bu Nata masih berdiri dengan teh hangat di tangan. "Ibu, duduk." Lemah suara itu tercipta sehingga tidak ada yang bisa dilakukan oleh lawan bicara selain menuruti keinginannya.

"Minum dulu." Cangkir keramik disodorkan pada gadis muda.

Luna sambut dengan hati-hati dan menyelimuti permukaan hangat dengan telapak tangannya. "Terima kasih, Bu."

Senyum simpul diberikan Bu Nata. Ia remat pelan bahu Luna sambil membisikkan, "Tidak apa-apa." Berulang kali.

"Ibu, Luna bingung. Kenapa nggak ada yang bilang kalau menikah semelelahkan ini? Luna berantem hampir tiap hari sama Malvian. Luna salah, ya?" Parau suara itu keluar, seolah mencerminkan betapa hatinya lelah dengan semua hal.

Bu Nata genggam tangan kanan Luna hati-hati, lalu menepuknya dua kali. "Hidup tentang belajar, Nak. Tidak apa-apa jika kalian berdua melakukan kesalahan dalam hubungan pernikahan."

"Tapi kenapa marahnya Malvian selalu seperti itu? Kenapa dia nggak bisa ngomong pelan-pelan? Kesalahan Luna sebesar itu, ya?"

Helaan napas Bu Nata terdengar berat, tetapi senyuman hangat kembali dia berikan. "Ini bukan tentang kesalahan Luna sebesar itu, tetapi tentang egonya sebagai seorang lelaki dalam hidupmu. Ketika kamu tidak menempatkan dia pada posisi sebagai orang pertama yang kamu hubungi saat dalam bahaya, dia merasa seperti tidak berguna. Merasa tidak berguna dan tidak bisa diandalkan."

Mi Cherry Honey ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang