30. The Truth

52 8 0
                                    

Detak jantung yang bertalu cepat kini mulai kembali normal seiring jarum jam bergerak melewati angka di pinggirnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Detak jantung yang bertalu cepat kini mulai kembali normal seiring jarum jam bergerak melewati angka di pinggirnya. Luna rapikan jas hitam yang membalut tubuh sebelum selempang bertuliskan nama dan gelarnya tersemat gahar di bahu.

Sidang skripsi berjalan lebih mulus daripada yang dia bayangkan. Luna jadi menyesal tidak tidur dengan nyenyak karena memikirkan semua kemungkinan buruk yang bisa terjadi saat dia mempresentasikan hasil tugas akhir, atau mungkin tidak nyenyaknya tidur perempuan itu karena ada hal lain yang menggangu dan mengusik pikiran. Entah, Luna sendiri tidak mengerti.

Ucapan selamat atas gelar yang didapat terus saja bermunculan dari pesan elektronik atau percakapan langsung dengan orang yang dia temui di gedung prodi. Luna sematkan senyum terbaik sambil berterima kasih atas apresiasi dan hadiah yang diberi.

Semua orang menyelamati, kecuali Malvian yang masih berstatus sebagai suami. Luna tertawa miris. Sidang skripsi adalah harapan terakhir untuk mereka bertatap mata, sebab jika lelaki itu memilih untuk tidak hadir, maka Luna benar-benar tidak akan kembali pada rumah yang dulunya mereka tempati.

Terlepas dari semua kekesalan dan amarah yang disimpan si manis, dia tetap masih mengharapkan sosok itu untuk hadir, menjemputnya, menjelaskan semua. Namun, nihil, Malvian bahkan tidak ambil pusing. Lantas langkah yang pasti Luna ayunkan untuk meninggalkan gedung prodi dan kembali dalam pelukan Bibi. Mungkin dia akan singgah di pemakaman untuk bercerita pada Mama dan Papa atas keberhasil yang telah ia raih.

"Luna?"

Sampai akhirnya suara itu bergema hebat dan menghentikan langkah berat yang sedang Luna ambil. Perempuan itu berbalik cepat, langsung menghadap lurus pada obsidian milik si pemanggil.

"Lo kenapa, sih?" tanya sang pendatang, masih mempertahankan nada sebal yang mengalun dari bibir. "Buang aja HP lo kalau nggak bisa dihubungi," lanjutnya sambil memangkas jarak yang membentang di antara mereka.

Kalimat itu seolah angin lalu tanpa arti. Luna justru berbalik dan kembali mengangkat kaki untuk bisa segera pergi. Namun, tangannya yang masih terbungkus dengan jas hitam ditarik kasar oleh gadis pendatang sampai membuat tubuh si manis sedikit terhuyung ke belakang.

"Apa, sih, Dipa?!"

Ketika rampung kalimat Luna mengudara, Dipa berkedip pelan dan mundur selangkah. Terlalu menyalak ucapan itu dikeluarkan, sampai membuat jantungnya berdetak cepat sebab terkejut. "Lo ... Lo pasti udah tau," tebaknya sambil melepaskan lengan wanita di hadapan.

"Apa?" tanya Luna sebelum tertawa sinis. Wajahnya bahkan terlampau datar dan menatap lawan bicara dengan ujung mata. "Udah tau kalau lo sama Malvian goblok-goblokin gue?"

"Goblok-goblokin apa, sih?" Dipa tak habis pikir. Keningnya berkerut dalam, menatap wajah Luna yang menampilkan ekspresi asing, seolah di depan sana bukanlah teman yang selama ini menemani. "Kita udah tua, kalau ada masalah diomongin, bukan malah ngilang berhari-hari."

Mi Cherry Honey ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang