21. We Can Learn To Love Again

56 7 0
                                    

Udara dingin menerpa wajah Luna tatkala tungkai melangkah keluar dari mobil

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Udara dingin menerpa wajah Luna tatkala tungkai melangkah keluar dari mobil. Halaman rumah Bunda masih sama hijaunya seperti terakhir kali dia mampir. Deretan mawar merah yang ditanam di sekitar teras ikut menyambut kedatangan si manis. Diam-diam sebuah senyuman mekar di bibirnnya seraya menghirup oksigen segar dari pepohonan.

Sejak Malvian pulang dari rumah sakit tiga hari yang lalu, Luna punya pekerjaan tambahan yang dilakukan dengan sukarela tanpa digaji. Menemani dan memastikan si tampan makan siang menjadi kegiatan baru dalam kesehariannya. Karena alasan itu juga dia berdiri di depan pintu rumah mertua, membawakan makanan untuk sang suami sebab Bunda masih belum kembali dari pertemuan bersama rekannya.

Seharusnya Malvian belum diperbolehkan keluar rumah oleh si manis, tetapi panggilan dari Ayah pagi tadi membuat Luna mau tak mau harus mengizinkan suaminya pergi. Dia sendiri tidak bisa menemani sebab janji yang dibuat dengan pembimbing di pagi hari tidak bisa dibatalkan lagi.

"An?" Lembut suara itu melayang kala pintu besar di depannya terbuka. "Malvian?" panggil Luna lagi saat tidak mendapatkan balasan apa-apa dari penghuni rumah.

Lantas kedua tungkainya kembali merajut langkah menuju ruang tengah. Kepala celingukan ke semua sisian rumah untuk menangkap sosok Malvian yang mungkin sudah tertidur di pojok dinding. Dia letakkan bawaan di atas meja tepat di depan televisi untuk meringankan beban tangannya, lalu sayup-sayup suara yang berasal dari ruang kerja Ayah menarik perhatian gadis itu.

"Mengurus hal begini saja kamu nggak bisa!" Kening Luna berkerut dalam ketika samarnya suara tadi menjadi kian jelas sebab dia semakin mendekat. "Perusahaan rugi besar karena gagal launching!" Ada apa gerangan sehingga nada Ayah kelewat tinggi meneriaki Malvian? Kendati demikian, rasa penasaran Luna masih bisa dikalahkan dengan kesopanan. Jelas bukan sikap yang bijak apabila dia datang dan menginterupsi percakapan mereka.

"Mati saja."

Sang pendatang memelotot lebar ketika kalimat terakhir Ayah melayang sebegitu menyakitkan, tetapi keterkejutannya tidak berakhir di sana sebab suara benda besar yang jatuh diiringi kerasnya bunyi dari pecahan kaca terdengar dari dalam. Tidak menunggu satu detik kericuhan itu mengudara, Luna langsung berlari meninggalkan etika dan kesopanan di ruang tengah.

"Ayah?!"

Teriakan si manis mengudara dengan campuran ragam emosi; marah, terkejut, takut, dan sebagainya. Jelas itu adalah respon yang normal bagi manusia ketika retinanya menangkap pemandangan seorang ayah dengan vas bunga di tangan kanan sedang mengambil ancang-ancang untuk melempari putranya yang sudah babak belur.

"Malvian bukan cuma anak Ayah!" katanya selaras dengan kaki yang bersentuhan dengan milik sang suami. Tubuh Luna langsung merosot, memeluk Malvian yang terbaring di atas dinginnya lantai keramik. "Malvian bukan cuma anak Ayah." Dia menekan kembali kalimat itu. air mata pun kini tak terbendung, luruh berserakan di atas tubuh Malvian dengan pandangan yang begitu menyakitkan terpancar pada sang mertua. "Dia juga suamiku. Aku berhak atasnya. Jangan berani Ayah jatuhkan tangan pada tubuhnya lagi."

"Luna?" sentak Malvian. Jelas ucapan si manis membuatnya terkejut setengah mati.

Tak jauh beda dengan reaksi yang diberikan sang putra tunggal, dua orang bawahan Ayah sama terkejutnya atas keberanian yang dikeluarkan gadis berwajah manis di sana. Terlampau menyalak ucapan Luna walau dilemparkan dengan nada yang bergetar.

Meski amarah menyala merah padam dalam diri Ayah, tetapi beliau tetap cukup waras untuk tidak melakukan apa pun pada perempuan, terlebih menantunya, anak temannya, gadis kecil kesayangannya. Maka dia letakkan kembali vas bunga di atas meja sebelum menarik dasi yang tiba-tiba terasa mencekik dan berlalu meninggalkan tempat itu.

"An?" Dari semua hal yang dia alami bersama Malvian, hari ini adalah hari di mana hatinya nyeri melebihi semua kebangsatan yang lelaki itu lakukan. Mungkin karena melihat suaminya diperlakukan sedemikian rupa, mungkin karena Luna takut akan kehilangan sosok yang sudah mengikatnya di hadapan Tuhan, atau mungkin juga karena semua luka di tubuh sang teman masa kecil. Dia tidak mengerti, tetapi yang pasti, jantungnya berdenyut dengan cara menyakitkan.

"Nggak usah nangis," kata yang lebih tua sambil terus berusaha untuk duduk, menyenderkan punggung pada dinding di belakang. "Aku sudah sering begini. Jangan menangis, nggak apa-apa."

Kalau Malvian pikir kalimatnya bisa menenangkan, maka kutuklah dia sebab Luna jelas mengucurkan air mata semakin deras, lengkap sudah dengan isakan yang membuat lelaki itu ikut merasakan sedihnya.

"Luna!" tegasnya seraya menangkup kedua pipi si manis dan menghapus jejak basah yang mengalir dari pelupuk. "Tinggal minum paracetamol dan sakitnya akan hilang."

Luna sedang tidak dalam suasana hati ingin tertawa atas lelucon garing Malvian. Si manis justru menumpu kedua tangan di atas lantai sebelum membenamkan wajah di sana sambil terus menangis dengan keras. Fenomena itu lantas membuat Malvian semakin kalang-kabut, bukannya mengobati luka di sudut bibir, lelaki itu justru sibuk menenangkan sang istri sambil berusaha mengangkatnya ke atas pangkuan.

Ya Tuhan. Malvian kebagian part babak belur, sementara Luna sudah mengambil jatah menangisnya. Sungguh, mereka saling melengkapi. Semoga bertahan lama.

 Semoga bertahan lama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mi Cherry Honey ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang