26. You Have No Choice

52 9 0
                                    

Jendela masih terbuka, tirainya pun tidak punya kuasa untuk menghalau dingin angin yang menerobos masuk ke dalam kamar, menghantar sulur gigil pada kulit keemasan milik si manis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jendela masih terbuka, tirainya pun tidak punya kuasa untuk menghalau dingin angin yang menerobos masuk ke dalam kamar, menghantar sulur gigil pada kulit keemasan milik si manis. Bayangan pepohonan di luar sana jatuh tercetak pada lantai dan dinding, cantik, tetapi tidak cukup sempurna untuk membuat Luna bisa melupakan nyeri di hatinya.

Jejak basah di pipi yang juga masih sedikit tersisa pada bulu mata menjadi pertanda bahwa sang empu belum puas menangisi takdir yang agaknya tak lelah mempermainkan mereka. "Kamu bohong lagi, An. Sama seperti saat kamu makan daging tumis yang asin waktu itu," monolognya sambil menatap foto sewaktu seminar proposal dalam gawai yang berisikan Dipa, Luna, dan Malvian. "Ini yang kamu bilang tentang dicintai dan mencintai? Begini cara kamu nunjukin hal itu?" Dengan cara membohongi Luna? Bagaimana bisa hal baik dimulai dengan kebohongan?

Jemari menyapu kasar air mata yang kembali jatuh berserakan di atas kasur. Dadanya nyeri betul kala melihat senyuman mereka kelewat cerah pada foto itu. Mungkin apa yang tersimpan di balik layar takkan pernah terulang lagi setelah semua ungkapan Malvian pagi itu.

Jauh obsidian Luna menelisik garis wajah mereka sampai notifikasi pesan membuat perempuan itu sedikit kerkejut. Dipa mengirim kalimat panjang mengenai cowok AU yang mereka ikuti kisahnya di suatu platform novel. Amat sangat excited gadis di seberang menjelaskan lanjutan dari cerita itu, tetapi sama sekali tidak membawa sedikitpun kegirangan dalam diri si manis.

Justru nama Dipa yang terpampang di roomchat membuat Luna melempar pelan ponselnya ke bantal sebelum kedua tangan menutup wajah. Bahu perempuan itu naik turun sebab tangisan yang dipaksa usai pun kini kembali menerobos jatuh. Namun, pesan lainnya datang, membuatnya terpaksa membuka gawai karena takut melewatkan informasi dari grup kampus.

Lo kemana aja sih? Kenapa enggak balas chat gue dari pagi? Lo mau sidang, jangan pura-pura gila.

Miris sekali pertemanan mereka. Haruskah Luna ikut marah pada Dipa karena menyembunyikan hubungannya dengan Malvian?

Kini si manis mengerti kenapa temannya selalu mengatakan bahwa Luna tidak tahu apa-apa mengenai Malvian. Sekarang dia paham maksud ucapan perempuan berkulit putih itu ketika dia baru menikah.

Luna buka X, gue ngirim foto kaki ketiga Gojo.

Bahkan Dipa masih berusaha menarik atensinya untuk bisa bertukar pesan. Luna jadi merasa bersalah, tetapi dia sendiri bingung. Dalam masalah seperti ini, si manis butuh seseorang untuk diajak bertukar pikiran.

Luna butuh seseorang untuk menasihatinya agar tak salah mengambil langkah. Karena sejatinya, dia sudah cukup lelah dengan kehidupan setelah Mama dan Papa meninggal.

Lantas Luna buang pandangan ke luar jendela, menatap rembulan yang juga ditatap ibunya semasa masih bernapas. Indah, seperti Mama.

"Kangen," lirihnya yang kini terbaring menyamping memeluk kedua lutut. "Mama, kangen." Hancur sudah usahanya untuk berhenti mengeluarkan air mata, justru sekarang tangisan si manis pecah dengan isakan yang putus-putus dan jeritan menyakitkan.

Mi Cherry Honey ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang