Sunyi

6 1 0
                                    

Tim berhenti di tepi warung yang masih buka, jauh dari hiruk pikuk kota. Sekalinya pintu mobil terbuka, rasa dingin masuk menembus baju yang dikenakan. Menggigil.

Mereka berada di Bandung. Disana banyak tempat-tempat yang sunyi dan bisa meluapkam emosi, berteriak dan bersembunyi. Tim memang tidak memiliki rumah di Bandung. Pikirannya menuju pada Bandung, Yogyakarta dan Bali. Ketiga kota yang memiliki tempat indah, bisa menghilangkan beban pikiran. Tidak seperti di Jakarta yang banyak hanya gedung pencakar langit dan ada juga pantai, itupun banyak pengunjung sehingga tidak leluasa untuk berteriak dan marah-marah.

Jika pun harus berteriak diatas gedung, orang mengira akan bunuh diri. Meski bunuh diri bukanlah satu-satunya jalan yang tepat untuk menyelesaikan masalah.

Tim masih menunggu pesanan minuman hangat dan popmie.

"Mas mau kemana? Kok malam-malam begini ke puncak?" Pria yang menyelempangkan sarung di bahunya bertanya sekilas melihat Tara yang tertidur di kursi sebelah kemudi.

"Cari tempat yang tenang." Jawab Tim.

Sepertinya pria pemilik warung sudah biasa melihat sepasang anak kuda yang datang ke puncak untuk melakukan hal tidak terpuji. Tim hanya tersenyum ringan, dia tahu apa yang dipikiran Bapak itu.

"Disini banyak villa yang begituan." Jelas Bapak itu. Seperti memberi saran.

"Adakah tempat untuk kita? Bukan untuk melakukan hal begituan, kami disini mencari tempat untuk berlari dari kematian, bisa berteriak sepuasnya tanpa ada orang tahu dan ingin tahu kenapa kita teriak. Adakah tempat seperti itu?" Kali ini Tim seakam dirasuki Tara yang selalu membicarakan kematian. Sepertinya Tim sudah terbiasa mengatakannya dan ekspresi bapak pemilik warung sedikit takut, ia berasumsi bahwa Tim dan Tara akan bunuh.

"Jangan bunuh diri." Katanya menyodorkan tas kresek berisikan teh hangat dan pop mie.

"Sekalipun kami memilih mati, kami tidak sepenuhnya merasakannya. Untuk melangkah ke ujung kematian jadi susah." Jawab Tim, membuat pria itu semakin takut.

"Jadi berapa pak?" Tanya Tim lagi.

"Gratis Mas. Bawa saja!" Pria itu ketakutan.

Tim mengeluarkan selembar uang 50ribu dan meninggalkan warung.

Tara terbangun setelah Tim membuka pintu mobil disisi lain.

"Kenapa Bapak itu ketakutan?" Tanya Tara seketika melihat pemilik warung tiba-tiba tergopoh menutup warungnya.

"Dia takut dikira kita bakal bunuh diri." Tim memberikan teh dan popmie. Tara menerimanya.

"Kenapa begitu?"

"Soalnya aku bicara tentang kematian."

Tara tersenyum, ia ingat tentang bagaimana ekspresi Tim saat pertama kali membicarakan kematian sehingga lelaki itu terbiasa dengan kata itu.

"Kalau ketawa, ketawa ajah, jangan ditahan-tahan!" Kata Tim.

"Maunya juga ketawa tapi sakit." Kata Tara menyeruput pelan mie.

"Masih sakit?" Tim mengelus kepala Tara.

Gadis itu mengangguk.

"Maaf aku terlambat datang. Dan maaf jika aku tidak bisa datang untuk menyelamatkanmu saat kejadian Reno."

"Jangan bahas Reno maupun Rani. Aku ingin tenang bersamamu."

Tim menurut.

Setelah makan dan minum untuk mengisi tenaga. Akhirnya sampai di villa yang sesuai dengan keinginan Tara. Saat didepan pemilik villa, ada beberapa tipe kamar. Tim memesan dua kamar.

"Satu kamar saja." Titah Tara.

"Beneran?"

"Kalau aku butuh apa-apa, aku enggak bisa teriak-teriak panggil kamu."

"Heemmm alasan anak muda, bisa saja." Kata pemilik villa.

Tara yang merasa tidak suka dengan gaya bahasa pemilik Villa, menganghap mereka datang untuk nafsu belaka. Tara yang sedari tadi menutup kepalanya untuk menutupi luka-lukanya akhirnya memilih untuk membukanya.

"Apakah ada seseorang dengan keadaan hampir mati seperti saya masih berpikiran untuk melakukan hubungan intim?"

Tim meredakan emosi.

Sang pemilik Villa terkejut melihat keadaan Tara, ia menunduk merasa bersalah atas candaannya.

"Maaf, jika perlu air hangat dan sesuatu yang lain bisa panggil saya. Sekali lagi saya minta maaf!" Kata pria itu lalu pergi setelah menunjukkan Villa yang kami tempati, terpisah dengan tempat penerima tamu. Berjalan 500 meter untuk ke kamar lengkap dengan kamar mandi dan ruang tamu.

Tim menurunkan Tara di tempat tidur.

"Istirahatlah! Besok pagi kita ke pasar buat beli baju. Aku tidak suka melihatmu pakai baju rumah sakit seakan-akan aku membawa kabur pasien saja."

"Kamu memang membawa kabur aku." Tara memperjelas.

"Tapi kan kamu yang minta." Tim membela diri.

"Iya-iya. Makasih ya!"

Tim tersenyum dan berjalan keruang tamu.

"Mau kemana?"

"Tidur diruang tamu."

"Tidur disini sama aku."

"Kamu enggak takut."

"Aku yakin kamu enggak bakal ngelakuin apa-apa."

"Heem tau ajah." Tim berjalan ke sisi ranjang yang lain dan tidur disebalah Tara.

Mereka masih memandangi langit-langit Villa berwarna coklat muda. Ketika Tara bergerak untuk mendekat ke Tim, ia merasa kesakitan. Lelaki itu peka, ia langsung mendekatkan diri dan membiarkan lengannya menjadi sandaran Tara. Inilah yang diinginkan Tara. Kedamaian.

"Apakah kita disini saja? Aku tidak mau kembali." Tara menyembunyikan wajahnya di dada Tim. Menghirup aroma hutan pinus yang menyegarkan.

Tim memeluk gadis itu dengan sangat lembut. "Baiklah."

Seperti sihir, setiap kali Tara meminta sesuatu hal, Tim senantiasa berusaha mewujudkannya. Tidak membantah dan langsung mengiyakan.

*****

Cara Kematian TaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang