Hukuman

15 5 0
                                    

Baru kali ini menjalani hukuman, ini adalah hukuman yang sebenarnya. Tinggal dirumah lebih lama dari biasanya. Tempat yang paling dihindari.

Tara tertidur lelap sedari pulang sekolah, bahkan matahari tenggelam matanya masih tertutup rapat, menikmati indahnya mimpi. Didunia itulah dia bisa menjadi siapa saja, dia bisa melakukan apa saja, menentukan kebahagiaan yang diinginkan.

Sudah hampir 6 jam Tara tertidur, karena rasa sialan itu terpaksa membuatnya terbangun. Lapar. Meskipun sudah lama ia tertidur tapi matanya ingin kembali terpejam. Berkali-kali menguap dan merenggangkan otot-ototnya. Sebelum ia benar-benar terbangun, ada suara menyebalkan menggema.

"Aish." Tara mendesis kesal.

Dia bangkit dari tempat tidur, berjalan dengan nafas kesal. Dia tahu asal suara itu, tepat di kamar orang tuanya. Namun, dia tidak kearah kamar orang tuanya, dia tahu itu suara desahan, pergulatan di bawah selimut, Tara tahu betul suara itu milik sang mama dengan pria lain.

"Brengsek." Ucap Tara berjalan ke  gudang belakang rumahnya, mengambil jerigen berisikan bensin. Lalu berjalan kembali kedalam rumah menuju kamar orang tuanya.

Mereka yang bertelanjang terkejut ketika Tara menumpahkan jerigen bensin ditempat tidur Mama yang berada dibawah seorang pria.

"Apa yang kamu lakukan Tara!?" Pekik wanita paruh bayah yang sudah bangkit, memakai selimut untuk menutupi hingga dada, sedangkan pria itu berusaha menjauh dari tempat tidur yang sudah diberi bensin.

"Aku melakukan apa yang harus aku lakukan." Tara menyalakan korek api berbentuk kotak berwarna perak. Jika benda menyapa api kecil itu dilempar, akan menghanguskan kamar sekaligus rumah.

Tara menutup koreknya, menatap tajam mama.

"Jika sekali lagi aku mendengar mama atau papa bermain api di rumah, aku akan memainkan api yang sesungguhnya biar kalian tahu masih ada NERAKA yang menanti." Tara keluar, membanting pintu sangat keras.

Kali ini Bu Meri tidak menyangka bahwa putri semata wayangnya nekat melakukan hal tersebut terhadap dirinya. Dia masih terdiam masih bersembunyi dibalik selimut yang tercium menyengat bau bensin. Tak peduli pria yang tadi akan memenuhi hasratnya pergi setelah memakai baju secara acak, pria itu ketakutan melihat Tara seakan melihat hantu atau malaikat maut yang mengingatkan akan kematian.

Sebelumnya Tara tidak bertindak keras seperti ini, bahkan biasanya putrinya hanya mengeluh, marah dan menghiraukan perbuatan Bu Meri. Tidak untuk kali ini. Tara menunjukkan sisi buruknya, sisi yang sebenarnya ia tunjukkan ketika kesedihan serta kemarahan bercampur jadi satu. Padahal Bu Meri selalu menjawab dengan santai (masih melanjutkan mencari kenikmatannya) saat Tara datang memperingatkan.

Sikap Tara kali ini membuat Bu Meri termenung, benar-benar termenung.

*****

Dengan sangat terpaksa Tara keluar rumah masih memakai pakaian tidur dan jaket kardigan serta tas slempang yang berisikan hp serta beberapa lembar uang. Jujur saja, Tara benar-benar membenci takdirnya. Semua rasa berperang di dalam dadanya, rasa lapar, ngantuk, marah, dikemas dalam kebencian yang sempurna. Tara tidak tahu harus meluapkan emosinya dari mana, semua itu butuh tenaga, sedangkan dia tidak memiliki tenaga untuk meluapkannya.

Tara merogoh hp didalam tas. Satu-satunya nomor yang dia hubungi.

"Tim. Ah tidak, nanti malam dia kerja, pasti sekarang dia tidur."  Ujung ibu jari mengetik nama lain.

"Sela." Tara berharap dia punya teman untuk membagi kisahnya, walau banyak yang nanti di sembunyikan. Setidaknya Tara ingin memiliki teman agar pikirannya tidak semakin kacau apalagi bertindak diluar nalar.

"Hallo! Tara, ada apa? Tumben nelfon." Suara dari sebrang sana menyandarkan lamunan Tara.

"Hmmm... Hai, maaf ganggu. Gue cuma mau..."

"Elo mau tanya ada PR hari ini apa enggak yah, tenang aja gue bakal kasih tahu kok." Potong Sela.

Ucapan Sela membuat Tara lega karena dia memiliki alasan untuk bertemu.

"Gue anter kerumah elo ya!" Lanjut Sela.

"Enggak usah, gue aja yang dateng kerumah elo. SMS-in alamatnya. Gue dateng sekarang." Suara Tara sedikit parau menahan tangis. Sialan!

Sela menutup telfon dan langsung mengirim pesan alamat rumahnya. Saat itu juga Tara menuju rumah Sela.

*****

Rumah yang sangat besar, mewah dan klasik. Serupa seperti istana kerjaan versi Indonesia. Tara sampai mengira jika alamat yang diberi Sela adalah alamat palsu. Namun ada seorang pria penjaga rumah mengatakan bahwa Tara sudah ditunggu oleh sang empunya rumah. Lega jika dia tak salah alamat.

Namun, Tara tidak pernah tahu bahwa Sela adalah anak orang kaya. Setiap teman disekolahnya yang dia tahu, jika anak orang kaya pasti bergaulnya dengan orang kaya juga. Tapi tidak dengan Sela. Dia berbeda, malah dia ngejar Tara untuk jadi temannya.

Saat pintu besar berpoles cat putih terbuka, Tara menerima pelukan hangat.

"Akhirnya elo datang juga." Katanya.

"Jangan lebai gini deh, kita kan baru tadi pagi enggak ketemu." Jawab ketus Tara.

"Enggak ada yang gue kangenin selain kangen sama elo, tauu!!" Jawab Sela membuat Tara ternganga.

Tanpa basa-basi, Sela membawa masuk Tara dan melakukan tour rumah dadakan. Hingga menuju kamar yang seluas kamar miliknya dan kamar orang tua yang digabung. Didalamnya terdapat kamar mandi yang sangat indah, bahkan Tara bisa berlama-lama mandi jika kamar mandinya seperti itu.

Setelah dipersilahkan duduk di tepi ranjang, Sela menyodorkan beberapa buku pekerjaan rumah. Tara masih melihat seisi ruang kamar yang serba merah muda.

"Hey!! Ngelamun ajah. Ini bukunya." Sela duduk disebelah Tara setelah memberikan buku tersebut.

"Thanks ya!" Tara mulai membuka lembar demi lembar halaman buku.

"Oh iya, elo udah makan? Gue suruh bibi bawain makanan sama minuman yah?" Usul Sela.

"Enggak usah Sel. Aku udah-"

Krucuk-krucuk, suara perut menunjukkan bahwa dia tengah lapar. Sebenarnya tadi ingin makan tapi karena melihat aksi bejat sang mama membuat nafsu makan hilang.

Sela tersenyum. "Anggap saja rumah sendiri." Gadis itu berjalan menuju nakas dan menekan beberapa nomor. Tak lama ia memberi perintah pada seseorang dari sebrang sana, sepertinya memesan makanan cepat saji. Sedikit heran mengapa Sela tidak menyuruh bibinya saja yang memasak atau membuat cemilan.

"Kenapa heran gitu?" Tanya Sela setelah mengakhiri panggilan.

"Enggak kok."

"Kok gue enggak liat nyokap bokap elo sih? Sepi amat nih rumah." Tanya Tara basa-basi.

"Oh, mereka sibuk bekerja. Hari-hari gue ya kayak gini, sendiri, sunyi, kesepian." Kata Sela dengan senyuman yang dibuat-buat, menyembunyikan kebenaran bahwa dia ingin sekali ditemani.

Mungkin inilah alasan mengapa Sela memilih Tara untuk dijadikan temannya. Karena hanya Tara yang bersikap aneh dan menjalin hubungan pertemanan dengan tulus tanpa memandang status.

*****

Cara Kematian TaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang