4 Kematian

31 6 0
                                    

Tara masih terkejut dengan ucapan Bara yang sangat mendetail tentang gambarnya. Dia tidak menyangka anak baru itu tidak terlihat takut mengatakan kematian.

Bahkan tatapan Bara yang sendu menunjukkan sesuatu yang tersembunyi, ada pintu yang tertutup seakan dibalik pintu itu terdapat dunia lain.

"Mending elo jauh-jauh dari gue. Sok akrab banget sih." Tara tidak melanjutkan gambarannya. Mood-nya berubah setelah Bara dengan santainya mengusik.

"Kenapa tidak diteruskan? Bukankah seharusnya ada 1 kematian lagi, kematian yang ke 5. Kematian yang menentukan akhir dari kehidupan seseorang."

"Apa-an sih? Elo mulai enggak jelas." Tara tidak menyangka kalau di dalam diri Bara terdapat dirinya. Bahkan saat ini seolah ia tengah berkaca. Bagaimana tidak, Tara suka membicarakan kematian dan sepertinya Bara juga menyukai pembahasan serupa.

"Kamu enggak tau apa emang enggak mau tau." Bara seakan memberi petunjuk.

"Aku tahu kamu sudah melewati 4 kematian yang gagal, tapi kamu belum tahu kematian yang yang ke 5." Lanjutnya.

Tara lebih memilih pergi. Dia tidak mau sesuatu yang sengaja disembunyikan terbongkar. Sesuatu yang membuat Tara menolak mengingatnya, mengingat pada suatu kegagalan yang mengharuskan ia kembali pada kehidupan pahit.

Gadis itu melangkah dengan kesal, entah kemana langkahnya berakhir pasti ujung-ujungnya berhenti di suatu tempat.

"Tim, ayo ikut gue!" Ajak Tara, tak sungkan membawa Tim dari teman-temannya yang sedang ngobrol serius tentang pertandingan antar sekolah akhir semester.

Walau sorakan meneriaki Tara dan Tim, Tara tetap saja menarik tangan Tim untuk pergi ke suatu tempat.

Tempat rahasia antara mereka, di belakang sekolah, di balik pohon yang besar yang membuat mereka tidak terlihat.

"Kenapa sih? Kelihatannya bete gitu?" Tim masih berdiri, sedangkan Tara sudah terduduk di bawah pohon yang rindang dan sejuk.

"Elo percaya kematian itu ada kan, Tim?"

"Ah, mulai lagi." Gumam Tim.

"Gue serius Tim." Kesal melihat ekspresi Tim yang tak memberikan empati.

"Aku juga serius Tara. Meskipun kita pacar bohongan tapi enggak gini juga, kan! Narik aku di depan temen-temen. Aku sibuk banget Tara." Kini Tim ikut terduduk di samping Tara.

Kalimat Tim membuat Tara bingung.

"Kenapa tiba-tiba elo panggil aku-kamu?"

Tim membungkam mulutnya sendiri.

"Sudah skip ajah yang tadi. Terus elo mau bilang apa? Kematian macam apa yang elo ingin bicarakan?"

"Ishhh elo enggak serius gitu."

"Lah kenapa makin lama kayak pacaran beneran yaa kita? Elo ngambek dan gue mau ngejelasin. Astaga." Tim tepuk jidat.

"Timurrrr!!! Dengerin gue! Ada anak baru di kelas, dia ngomentari tentang gambaran kematian yang gue buat di papan tulis. Dan elo tahu parahnya? dia bisa mengatakan secara detail tentang kematian yang gue gambar."

"Terus masalahnya apa?" Tim terlihat serius.

"Gue selalu gambar sesuatu yang sering gue lihat dalam mimpi. 4 kematian yang membuat gue terbangun di tengah malam. Kematian yang tidak bisa mengakhiri hidup gue, dan anak baru itu seolah tahu apa yang gue alami." Tara semakin serius dan bukan lagi merinding, melainkan kesedihan lain yang menyempurnakan cerita Tara. Walau secara jelas, dia menyembunyikan kebenaran yang sesungguhnya pada Tim.

"Mungkin hanya kebetulan aja, lagian dia kan anak baru, wajar dong dia jadi sok akrab sama temen satu sekolah, menjalin persahabatan seperti lainnya. Mendingan elo berhenti mikirin kematian deh, karena elo sering ngomongin tentang kematian dan mengharapkan kematian itu datang lebih cepat. Jadinya elo sering mimpi kematian dengan aksen berbeda." Entah mengapa kali ini kalimat Tim ada benarnya tapi di akhir kata membuat Tara jengkel dengan lelaki itu.

"Kenapa harus pake kata aksen sih?" Ceriwis Tara.

"Lah terus apa? Apa gue bilang model yang berbeda?"

Perdebatan dimulai lagi. Mereka terlihat sangat menggemaskan, seperti sepasang kekasih yang memperebutkan kebenaran atas prinsip yang mereka buat. Sayangnya, hanya pacar bohongan.

"Sebel banget sama elo." Tara bangkit dan memilih untuk kembali ke kelas.

Secara bersamaan, Tim menarik tangan Tara hingga hampir tersungkur di depan Tim, untung Tim bisa cepat menangkap tubuh Tara. Di posisi Tara yang terduduk, Tim memberi pelukan.

"Maafin gue, gue emang enggak bisa ngertiin elo." Ucap Tim.

Jujur saja, saat seperti inilah yang diinginkan Tara. Sebuah pelukan yang menenangkan.

Jangan tanyakan perasaan Tara, saat ini ada butiran air mata yang menguasainya, bahkan dia merasa sangat bersalah telah menyembunyikan sesuatu pada Tim. Bukan waktu yang tepat juga untuk mengatakan kebenaran. Tara tidak ingin hidup sendiri seperti yang sudah-sudah. Setidaknya dengan menyembunyikan kebenaran itu, Tara bisa memiliki teman seperti Tim dan Sela.

*****

Yapsss maaf yaa agak lama upnya.

Aku mau kelarin cerita teenlit ini dulu yah. Baru lanjut yang lainnya.

Selamat membaca

💜💜💜💜💜💜💜

Eits
Jangan lupa selalu meninggalkan jejak. Komen dan vote.

Thank you

💜💜💜💜💜

Cara Kematian TaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang