63

98 39 60
                                    

Sudah hampir tiga puluh menit Bella duduk seorang diri di tempat peristirahatan terakhir kedua orang tuanya.

Setelah puas bercerita, Bella hanya diam dan melamun. Kesedihan menghiasi raut wajahnya.

Langit mulai menggelap, gemuruh petir sudah mulai terdengar, namun hal itu tidak membuat Bella bangkit dari duduknya. Hingga langit menurunkan pasukannya pun Bella masih enggan untuk pergi dari tempat favorite dirinya di kala kesedihan menyinggahinya.

Air hujan yang sedari tadi jatuh membasahi tubuhnya, kini seakan berhenti, padahal di sekitarnya air hujan masih turun. Bella mendongakan kepalaya. Terlihat Ebi tengah memayungi dirinya.

Ebi berjongkok untuk mensejajarkan posisinya dengan Bella. "Bel, pulang ya, gue takut lo sakit kalau kena hujan gini."

Bella menggeleng pelan, matanya kembali memanas, hatinya kembali merasakan kepedihan. Lagi dan lagi rasa sesak yang menyeruak dalam dadanya berhasil membuat air mata yang sedari tadi ia tahan kini ikut luruh bersama pasukan dari langit yang turun membasahi bumi.

"Bi, gue capek."

Ebi mengelus bahu Bella, ia merasa iba atas hidup sepupunya tersebut. 

"Gue pengen istirahat bareng ayah sama ibu gue," ucap Bella dengan tatapan yang datar namun air mata terus turun membasahi pipinya.

Ebi menelan Salivanya, ia sangat mengerti dengan perasaan Bella. Ebi hanya diam tak menjawab. "Bel, udah ya. Kita pulang dulu."

Bella menyeka air matanya, kemudian mengelus nisan ibu dan ayahnya bergantian.

Ayah Ibu, jangan lupa jemput Bella ya. Bella tunggu. batin Bella.

****

Di atas ranjang miliknya, Bella menatap lembaran kertas-kertas hasil dari cuci darah dan kemoterapi yang ia jalankan tiap minggu.

"Udah dua minggu ini gue gak cuci darah sama kemo, rasanya gue udah capeeeeek banget."

"Tuhan."

"Boleh gak kalau Bella minta pulang sekarang, Bella capek kemo, Bella capek cuci darah, Bella capek harus minum obat, Bella capek, mau pulang, mau ketemu ayah sama ibu. Tuhann denger Bella 'kan?"

Semua perkataan Bella tadi bisa di dengar oleh Sagara, Ebi, dan juga Tante Lia. Yang berada di ambang pintu kamar Bella.

"Ya Allah..., Bella. Kamu udah secapek itu ya, nak...." lirih Tante Lia.

Sagara dan Ebi ikut sesak medengar Bella. "Kita egois banget ya. Padahal Bella udah capek banget sama hidupnya, tapi kita terus-terusan maksa dia supaya tetap hidup dan lawan leukemia dia dengan cici darah sama kemoterapi. Padahal itu pasti sakit banget buat dia." Air mata Sagara luruh.

"Tapi, gue belum siap banget kalo harus kehilangan Bella. Orang yang paling gue sayang."

"Bukan cuma lo, gue, nyokap gue, sama yang lain juga pasti gak akan siap dengan perpisahan yang disebabkan oleh kematian." ucap Ebi

"Terus kita harus gimana, gak mungkin kan kita terus-terusan paksa Bella buat bertahan. Kalo dia nanti kalah sama penyakitnya gimana, gue hancur Bi kalo gak sama Bella."

"Sayangggg, aku punya hadiah buat kamu." Sagara mengeluarkan kotak panjang yang ia simpan di saku jakenya."

Dengan antusias yang tinggi Bella mengambil alih kotak panjang tersebut ke tanganya. "Apa nih, kan aku nggak ulang tahun, hari ini juga bukan tanggal jadian kita kan?"

SAGARA (AKHIR)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang