Ingatanku menjadi buram dan hanya kegelapan yang menjadi pancaran.
Perlu beberapa menit bagiku untuk sadar, untuk melihat, bahwa aku kembali menjadi diriku yang berusia dua belas tahun.
Dad menggandeng tanganku, sedangkan Mom berjongkok mencium keningku. Rasa takut sesekali mampir saat aku melihat beberapa anak-anak yang keluar dan masuk kereta.
" Semua akan baik-baik saja." Kata Dad dengan senyum bangganya. Kemudian harapannya muncul " kuharap kau masuk Hufflepuff tentu saja."
Dan Mom berdiri sambil bicara untuk menegurnya " Amos!"
Dad langsung saja tertawa sambil menepuk pundak kecilku " Tidak ada paksaan tentu saja." Katanya. Yang dalam usia itu aku sudah tahu dia sedang berbohong.
Dan aku tahu aku memohon masuk Hufflepuff pada kedipan selanjutnya agar Dad bangga.
Aku menjalankan hidupku dengan biasa-biasa saja. Belajar dalam batas yang aku bisa selama sekolah, dan menghabiskan waktu libur dengan tenang.
Tapi aku jelas acap kali bersyukur karena meskipun aku hidup dengan kebiasaan sederhana selalu saja ada teman yang melingkupiku.
Aku senang dengan perhatian ini. Aku senang sekali setiap kali mendapat pujian bahwa aku anak yang baik atau mungkin tampan.
Tapi terkadang aku melihat ada ruang kosong dalam hatiku soal keletihan yang merenggut jiwaku.
Katakanlah aku tidak bersyukur saat itu. Tapi ternyata perlu banyak tahun bagiku belajar bahwa keramaian sesungguhnya bukanlah tempatku.
Aku hanya ingin duduk manis di perpustakaan dan membaca banyak buku atau menghabiskan banyak waktu tiduran saja di kamarku.
Hufflepuff adalah asrama yang cantik, suasana hangat seolah menjadi khasnya yang lama- kelamaan menjadi kepribadianku.
Tapi aku tahu Dad adalah seorang tokoh yang harus aku contoh. Seseorang yang mempunyai mimpi tinggi melihatku. Tapi seberapapun aku berusaha aku tidak yakin aku sudah cukup menjadi anak yang membanggakannya.
Tiga tahun aku di Hogwarts. Tiga tahun aku merasa cukup bahagia. Cukup untuk menjadi anak yang mendapatkan popularitas yang membanggakan bagi Dad.
Hingga kegemparan selanjutnya diliputi oleh Harry Potter yang datang. Bukan iri atau apa, tapi seperti kebanyakan teman- teman lainnya kadang aku cukup terkesan dengan dia.
Dan tak memungkiri di sisinya selalu saja ada gadis manis yang membuatku bertanya-tanya.
Hingga kuketahui namanya saat beberapa teman- temanku berbicara tentang dia, (y/n).Mereka datang dengan masalah yang bukan main agaknya. Tahun pertama yang luar biasa bagi mereka, tapi aku masih belum menaruh perhatian lebih soal itu pada keempat anak yang terlihat selalu mendapat mata dari Dumbledore.
Tahun kedua bagi mereka adalah tahun keempat bagiku. Saat itu adalah interaksi pertama aku dan gadis itu. Aku yakin sekali dia tidak akan ingat. Tapi aku merapal doa agar ingatan itu abadi di otakku.
Di otakku mulai terekam jelas bagaikan mimpi yang datang pada malam hari. Mimpi indah yang aku harapkan setiap hari.
Dia disana, rambut hitam legam yang sangat menawan jatuh setengah saat dia melihat kebawah.
Tiupan angin sedikit membuat terbang rambutnya. Hujan rintik- rintik bulan September mulai turun membuat pola di tepi danau.
Dari daratan aku mengamatinya. Wajah cemas yang membuatku bertanya apa kira-kira yang membuatnya begitu pucat karena bingung. Tapi sedetik kemudian pertanyaan itu langsung terjawab.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Golden Time | Cedric Diggory
FanfictionJangan terjemahankan atau republish cerita ini dimanapun. Alur sesuai buku dan film. He is not dead. Maybe. Silahkan dibaca terlebih dahulu. 13+ •Tahun Keempat : Harry Potter and the Goblet of Fire. Dalam Tahun ini akan banyak kejadian menarik di...