Part 11

4K 389 15
                                    

"Juwita!!!"

"Juwita, brengsek!!"

"Anak kurang ajar!!"

Kompak, keluargaku ini menyalahkanku dan meneriakiku, wajah tampan Juna sudah tertutup krim dengan sangat mengenaskan, saking marahnya bahkan Juna tidak bisa berkata-kata lagi dengan apa yang aku lakukan ini.

"Cuma kue saja yang hancur, apa kabar hatiku? Yang anak kalian bukan cuma Jelita, tapi Juwi juga, Pi, Mi. Jangan terlalu jahat sama Juwita karena belum tentu anak kesayangan kalian bisa sesabar Juwi jika nanti kalian ada masalah."

"Lo ini, ya......." Dengan geram Jelita hendak menyerangku. Perempuan yang tampak berantakan dalam kemeja putih yang dipinjamkan oleh anaknya Pak RT karena pakaiannya kekurangan bahan khas pakaian Jelita yang seringkali disebutnya modis padahal mah kayak cabe-cabean ngantuk, tapi Juna yang masih punya sedikit urat malu dibandingkan keluargaku menahannya.

"Lit, tolong jangan kayak gini. Malu-maluin tahu, dari tadi kita jadi bahan tontonan orang-orang gegara sikapmu yang nyolot terus!"

Tidak terima karena teguran dari Juna, Jelita bahkan melotot, "kamu belain si Juwita ini? Kamu nyalahin aku? Iya? Bela aja terooosss, disini aku loh yang jadi istri kamu, bukan dia! Kenapa sekarang malah belain dia, masih cinta kamu sama dia?"

Busyeeeeettttt, baru beberapa menit jadi istri, suara bentakan Jelita sudah seperti gajah ngelahirin, nggak bisa aku bayangin gimana malunya Juna sekarang dibentak-bentak perempuan yang dinikahi karena penggerebekan dihadapan separuh warga komplek. "Bukan belain, tapi lihat kondisi......"

"Halaaaah, alasan...." Kembali Jelita memotong kalimat Juna.

"Ya sudah terserah kamulah. Aku pusing, mumet!" Mungkin sekarnag Juna tengah syok mendapati sisi lain Jelita yang bertolak seratus delapan puluh derajat dibandingkan sebelumnya. bisa aku lihat betapa geramnya Juna sekarnag yang berlalu begitu saja dengan raut wajah gusarnya, campuran malu dan marah yang sudah benar-benar tidak tertahankan lagi. Tidak hanya kotor karena kue yanh aku lempar, tapi juga karena teriakan Jelita yang mengoyak harga dirinya sebagai lelaki.

Frustrasi dengan sikap Juna ini, Jelita kembali menatap ke arahku. Telunjuk itu terarah ke arahku kebiasaannya yang selalu menyalahkanku atas apapun yang terjadi kepadanya. Seunik itu kembaranku yang sangat tidak tahu diri ini. "Ini semua gara-gara lo! Kenapa lo nggak pergi begitu saja, kenapa lo harus pakai acara ngamuk pakai lempar kue segala. Lo nggak terima Juna lebih milih gue dibandingkan lo, gitu? Terima saja kalau kenyataannya lo memang dilepeh sama si Juna."

Telunjuk itu terus mendorongku, membuatku terhuyung beberapa langkah, namun di akhir kalimat Jelita aku menahan tangannya dan mendorongnya mundur. Jelita tahu dengan benar dihadapan Papi dan Mami aku tidak akan menghajarnya seperti tadi, sungguh aku sangat benci dengan kelicikan saudariku ini. Dengan kesabaran seluas Samudera karena kata Yura, orang sabar pantatnya lebar dan dadanya membulat, aku menghadapi kembaranku ini full senyum. Jika pun aku harus menangis aku tidak akan memperlihatkan kesedihanku dihadapannya karena aku sangat paham jika kesedihanku adalah kebahagiaan untuk Jelita.

"Aelaaaaah, dunia gue nggak bakal kiamat cuma perkara lo ambil Juna, Lit. Lagian buat apa sih gue nggak terima dia lebih milih lo dibandingkan gue, yang rugi bukan gue, tapi si Juna. Dibandingkan gue, lo cuma menang gatal doang."

"Juwita, jangan kurang ajar kamu sama adikmu."

Terdengar Mami berteriak ke arahku namun aku sama sekali tidak peduli, alih-alih pergi aku justru mendekat ke arah Jelita sembari memamerkan seringai mengejekku kepadanya, kupandangi dirinya dari atas kebawah dengan alisku yang menukik.

"Apa Mi? Mau belain anak Mami? Sok gih belain, sebutin saja satu kelebihan anak kesayangan Mami ini dibandingkan Juwi? Nggak ada!!! Lihat baik-baik Lit, aku punya pekerjaan oke, sedangkan kamu cuma jadi benalu buat Papi sama Mami, aku punya penghasilan sendiri sedangkan kamu cuma nadah uang jajan. Seumur-umur, nggak pernah tuh kamu punya pacar hasil nyari sendiri selain ngerebut pacarku, kebiasaan dari kecil yang suka ngerebut mainan suka kebawa sampai gede ya....." cemoohku dengan sangat lancar, jangan Jelita kira jika selamanya aku akan diam saja menerima semua perlakuannya yang semena-mena, aku diam dan dia terus ngelunjak, bodohnya aku selama bertahun-tahun hanya diam dan menerima semua perlakuan orangtuaku yang tidak adil karena di sudut hatiku aku mengharapkan orangtuaku satu waktu nanti akan berlaku adil. Sungguh pengharapan yang menyedihkan karena sampai di akhir pun antara aku dan Jelita terbedakan, dan sekarang adalah puncak dari kesabaranku. Rasa hormatku benar-benar sudah hilang.

Orangtuaku memilih berdiri dibelakang Jelita maka jangan salahkan aku jika sekarnag aku membela diriku sendiri dengan apapun caranya.

"Nggak usah ngerasa menang cuma gegara dikawinin doang. Apalagi dikawini cuman gegara di gerebek, mana pakai acara bunting duluan lagi. Kasihan banget deh lo nikah pakai kemeja pinjaman, mana satu dunia tahu lagi, huuuuuh malu." Kujulurkan lidahku padanya sebelum akhirnya dia meledak karena kekesalan yang sudah tidak terbendung lagi, tidak ingin tinggal lebih lama lagi di satu tempat yang sama dengan orangtua dan juga saudaraku yang brengsek, aku berbalik meninggalkan rumah yang aku kira akan menjadi rumah masa depanku.

Dunia dan orang-orang di dalamnya mengira aku kuat menghadapi hal menyakitkan ini, namun pada akhirnya saat aku memberikan punggungku pada setiap orang yang mengikuti langkahku. Seketika itu juga senyumanku menghilang berganti dengan mendung yang siap turun setiap saat.

Sakit dan sesak, hanya sekedar bernafas saja terasa begitu berat, butuh perjuangan keras untuk aku bisa sampai ke gerbang luar dimana mobilku terparkir. Setiap langkah yang aku ambil membuatku merasakan betapa sakitnya pengkhianatan Juna dan perihnya pembelaan orangtuaku. Rasanya seperti dikeroyok dari kiri dan kanan lantas di jab dengan sangat mematikan dari atas dan bawah.

Siang hari tadi saat aku turun dari pesawat dan bergegas untuk datang aku membayangkan jika hari ini adalah hari yang membahagiakan untukku bisa merayakan ulang tahun kekasihku dengan sebuah kejutan yang susah payah aku siapkan. Namun lagi-lagi strawberry kesukaanku direbut oleh Jelita. Kenyataan pahit yang terus menerus terjadi kepadaku dan dipaksa untuk aku Legowo mengalah.

Langkahku terhuyung saat akhirnya aku tiba dimana mobilku terparkir, mungkin aku akan benar-benar jatuh seandainya saja aku tidak berpegangan pada kap mobil kecil ini, lebih daripada kakiku yang lelah karena mengenakan highheels, batinku jauh lebih lelah. Disaat seperti ini aku mengharapkan pelukan dan sandaran dari sakitnya pengkhianatan namun kenyataan jika tidak ada satu orang pun yang peduli dengan deritaku.

Airmataku menetes dengan tidak tahu dirinya dan buru-buru aku menyekanya karena air mata tidak berguna untuk apapun yang tengah aku rasa. Lelah dan merana, ingin pulang dan beristirahat namun seakan aku tidak punya rumah untuk sekedar meletakkan lelahku itulah yang tengah aku rasakan sekarang. Tidak ada tempat mengadu atau sekedar singgah untuk melupakan hari yang amat sangat panjang ini, sampai akhirnya seseorang menepuk bahuku.

"Saya antar pulang, mana kuncinya."

JUWITA (Kembaranku Perusak Bahagiaku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang