Part 20

3.5K 345 14
                                    

"Sebenarnya saya tidak suka, dok. Makanya kalau dokter mau bawa saya pergi dari sini saya bersedia kok."

Perlahan aku meliriknya, ingin melihat reaksi dokter Kaliandra dan siapa yang mengira jika dokter satu ini bergeming di tempatnya. Wes lah, benar-benar tipe cowok kulkas yang mau digoda model apapun nggak terpengaruh sedikit pun, tapi saat aku hendak menarik tubuhku untuk mundur darinya aku bisa melihat jakun itu bergerak seakan dokter Kaliandra tengah menahan dirinya untuk tidak menghela nafas dan ludahnya sendiri, percayalah, itu adalah salah satu bentuk salting seorang pria yang paling seksi.

Alih-alih dokter Kaliandra yang menanggapi godaanku, yang ada sekarang aku yang tergoda dengan pria manly satu ini jalur jakun.

Astaga, Juwita. Nyebut, Wi. Nyebut. Dan seolah semesta ingin mendukungku agar tersadar dari sikap konyolku, suara berat dari pria acuh itu terdengar membuatku meringis sendiri.

"Saya nggak sedang butuh pembantu, Mbak Juwita. Mohon maaf jadinya nggak bisa bawa Mbak."

Kalian tahu bagaiamana ekspresiku sekarang? Dari meringis malu mendadak menjadi nyengir dan akhirnya tertawa terbahak-bahak bahkan tanpa aku sadari sampai menabok bahu tegap itu, ya umumnya para perempuan saat sedang larut dalam tawa mereka, apapun yang ada di dekatnya akan di pukul melampiaskan rasa geli. Sebenarnya guyonan dokter Kaliandra sangat garing, namun saat hal itu di ucapkan dengan sangat datar dan lempeng tidak ada ekspresi, hal itulah yang membuatku geli sendiri.

Tidak ada tawa dari dokter Kaliandra, namun perlahan wajahnya yang tampak kaku tersebut mulai mencair seiring dengan sudut bibirnya yang tertarik membentuk senyuman. Ya, hanya sebuah senyuman tipis namun sukses membuat wajahnya tampak berubah, gimana ya jelasinnya, lebih tampak manusiawi lah, dan itu membuatku justru semakin tidak tahu diri dalam menggodanya. Aku agak tidak rela mendapati senyuman yang sangat cocok di wajahnya itu menghilang begitu saja berganti dengan aura kutub utara yang mencekam sampo ginjal.

"Ya kalau nggak ada lowongan pembantu, bolehlah dibawa sebagai istri. Dibandingkan urusin rumah, saya lebih tertarik buat ngurusin dokter deh. Biar nggak kering-kering banget gitu kayak kanebo."

Dokter Kaliandra berdecak, terlihat jelas sekali jika dia ingin menimpali ucapanku namun kehabisan kata-kata, gelengan pelan pun terlihat darinya sebelum tangannya terarah ke arahku, "sepertinya saya salah udah ngekhawatirin kamu, kamu terlihat biasa-biasa saja setelah di selingkuhi. Ternyata kamu mudah moveon orangnya."

Tidak ingin ditunjuk seperti seorang tersangka aku langsung menurunkan telunjuknya yang tertuju padaku. Apa yang dilakukan dokter Kaliandra ini membuatku teringat pada sikap Mami yang seringkali menunjukku saat marah. Aku menyukai dokter Kaliandra sebagai orang baik dan aku tidak menyukai jika dia bersikap seperti ini.

Senyuman yang terlihat di wajahku kini tidak seceria sebelumnya, sungguh innerchild dan luka batin seseorang itu sangat mengerikan saat dewasa. "Saya menangis pun tidak ada gunanya dan tidak ada peduli, dok. Jadi untuk apa saya bersedih atas sesuatu hal yang hanya menyakiti saya? Dokter tidak perlu membuang waktu dokter yang berharga untuk mengkhawatirkan saya. Saya bukan seorang yang suka merepotkan orang lain kok dok. Perkara candaan saya barusan, jangan diambil hati, itu benar-benar hanya sebuah candaan."
Percayalah, aku hanya sekedar menggodanya dengan niat bercanda tanpa ada maksud bergenit ria atau semacamnya, aku pun mengira jika obrolanku dengannya bisa menjadi menyenangkan namun ternyata dokter Kaliandra bukan seorang yang suka bercanda.

Tidak ingin memperpanjang obrolan lebih lama karena mungkin saja dokter Kaliandra tidak nyaman, aku mengacungkan kunci mobilku kepadanya. "BTW, thanks loh dok udah balikin mobilnya. Sekali lagi terimakasih juga sudah menolong saya kemarin. Oh ya, kalau order taksi online disini gampang kok."

Aku beringsut mundur, menjaga jarak darinya yang seakan paham jika aku sedikit tersinggung dengan apa yang dia ucapkan. Sekata dengan apa yang aku lakukan untuk mengakhiri pertemuan, dokter Kaliandra hanya mengangguk. "Kalau begitu saya pamit."

Ya, sesingkat itu kalimat perpisahan yang diucapkan oleh dokter Kaliandra tanpa embel-embel lainnya sebelum akhirnya dia berbalik pergi dan berjalan dengan santainya keluar dari komplek perumahan tempatku tinggal sembari memainkan ponselnya, mungkin dokter Kaliandra memesan taksi online. Aku orang yang suka bercanda, tapi saat orang yang aku ajak bercanda tidak tertawa maka aku orang yang sadar diri untuk tidak asyik sendiri.

Lama aku memperhatikan punggung tegap itu menjauh sampai dokter Kaliandra tidak kelihatan dari pandanganku baru aku berbalik hendak masuk ke rumah, tapi betapa terkejutnya diriku saat melihat Arjuna yang berdiri di belakangku.

Selama ini aku terbiasa dengan sikap lembut Arjuna dalam memperlakukanku karena memang Arjuna bukan tipe pria ketus dan dingin macam dokter Kaliandra, Arjuna adalah tipe pria bermulut manis yang ditunjang dengan penampilan menarik, alhasil sekarang melihatnya dalam mode serius dengan tangan yang ada di dalam saku celananya membuatku sempat menelan ludah kelu, persis seperti seorang yang baru saja terpergok ganjen oleh pacarnya sendiri. Aku lupa jika kini aku dan Juna adalah mantan bahkan statusnya adalah adik iparku.

Sebuah fakta menyakitkan yang menamparku.

"Bukannya yang ngobrol sama kamu tadi dokter Kaliandra depan rumahku? Ngapain dia datang ke sini? Gimana ceritanya juga mobilmu bisa sama dia?
Sejak kapan kalian saling mengenal dan dekat sampai lancang membawa mobil segala?"

"Bukan urusanmu. Minggir!" Mendapati pertanyaan beruntun mencecar dari Juna yang persis seperti pacar yang tengah cemburu, aku hanya bisa memutar bola mataku dengan malas. Aku enggan menjawab pertanyaan tersebut karena aku tidak mau berhadapan dengannya dan membuat Jelita ngereog kayak Tarzan yang akan berakhir dengan dia yang memakiku. Hisss membayangkan mulut busuk Jelita yang tidak pernah bagus dalam berbicara saja sudah membuatku lelah sendiri, namun seakan tidak mengenal perempuan selingkuhan yang kini menjadi istrinya, Juna justru mencekal tanganku kuat, menahanku agar tidak pergi.

"JAWAB JUWITA. ADA HUBUNGAN APA KAMU SAMA KALIANDRA? KEMARIN DIA SOK JADI PAHLAWAN DIHADAPANMU, DAN SEKARANG DIA MUNCUL MEMBAWA MOBILMU. JANGAN BILANG KALAU KAMU MENGGODANYA UNTUK MEMANAS-MANASIKU." Untuk pertama kalinya Juna membentakku, dan itu membuatku benar-benar meradang tidak terima.

Sekuat tenaga aku menyentak tangannya yang menahan tanganku dan menatapnya dengan penuh kebencian, tatapan yang hanya aku peruntukan untuk Jelita kini juga aku berikan kepadanya. Sebelumnya aku hanya kecewa dan marah namun kini semua rasa itu bertambah dengan kebencian, tapi alih-alih memakinya aku justru tertawa kencang mengejek kepercayaan dirinya yang sangat tinggi.

Astaga, Juna. Tidak aku sangka jika aku pernah menjadikan pria narsis ini sebagai prioritas dalam hidupku.

"Yailah kepedean amat, Bang. Memangnya situ siapa sampai kita harus effort buat manas-manasin? Lagian kenapa sih marah-marah segala? Panas ya lihat mantan pacar deket sama cowok lain?"

"..................."

"Lo nggak berhak marah, Jun. Lo tertarik sama cewek lain di saat gue prioritasin lo dengan alasan gue nggak menarik, kolot dan naif, lo nyari semua kekurangan gue disaat gue ngasih yang terbaik buat lo sementara lo lupa kalau dimata orang lain pun gue menarik."

"..............." aku berdecih melihatnya tidak bisa berkata-kata, wajahnya sudah merah padam dengan segala pergolakan batin atas semua hal yang aku katakan untuk menohoknya.

"Belum apa-apa kok sudah kelihatan menyesalnya. Nggak usah ngurusin mantan, urusan saja tuh istrimu yang udah siap-siap teriak kayak Tarzan."

JUWITA (Kembaranku Perusak Bahagiaku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang