"Dokter Kaliandra, astaga, dari tadi dihubungi susah banget, ini saya mau ngembaliin dompet dokter yang masih saya bawa susahnya minta ampun. Saya nggak mau tahu, tolong dokter kesini biar saya nggak disangka fans caper. Saya tunggu di tempat staf bernama Ajeng cepet nggak pakai lama."
Sungguh bukan maksudku tidak sopan kepada dokter Kaliandra, tapi aku benar-benar capek dengan sikap staf bernama Ajeng ini. Iya, aku paham di UGD itu pasti capek, tapi ya nggak harus jahat juga reaksinya, jika dia seorang cabin crew sepertiku caranya menghadapi orang pasti akan mendapatkan nyap-nyap dari Pusher, atau mungkin akan di dorong sekalian dari ketinggian saking keterlaluannya sikap yang Ajeng ini berikan.
"Kamu ada di rumah sakit?" Pertanyaan macam apa ini? Tidak tahukah dokter Kaliandra jika aku sudah berada ditaraf kesal yang bisa saja makan orang dan dengan santainya dia bertanya apa aku ada di rumah sakit. Sikap tenang, cool, dan adem kayak ubin masjid ini justru membuatku gemas sendiri.
"Iya, saya dirumah sakit. Dokter sadar nggak sih kalau dompetnya masih di saya? Ini saya mau ada flight loh, ini saya titipin apa gimana? Kalau di suruh nitipin ya sudah saya titipin, kalau nggak ya buruan samperin. Nggak enak banget tahu disangka fans dokter."
Panjang lebar aku mengomeli pria di ujung sana yang entah sedang apa, terdengar grusa-grusu yang akhirnya ponsel itu mati secara sepihak membuatku menatap layar menggelap itu dengan kebingungan.
"Laaahh, malah ngegantung kayak jemuran." Celetukku masam. Ini masalah dompet loh kok dokter Kaliandra anteng-anteng bae kebawa sama orang, nggak takut apa kalau diam-diam aku tuh hacker yang bisa bobol rekeningnya. Nasib baik aku cuma warga negara biasa yang menggunakan teknologi seperlunya."Jadi barang pribadi dokter Kaliandra yang kebawa sama Mbak itu dompet?"
Pertanyaan dari Mas Security tersebut membuatku memadukan ponselku ke saku celana dan mengangguk seraya menjawab. "Iya Mas, makanya saya nggak bisa main titip sembarangan." Tidak ingin Mas Security ini salah paham aku buru-buru menambahkan. "Bukan saya berprasangka buruk atau nggak percaya, tapi alangkah baiknya barang dengan data-data pribadi diberikan secara langsung. Maaf ya merepotkan, Mas."
Syukurlah, meskipun kesabaranku diuji dengan wanita bernama Ajeng ini, namun Mas Security rumah sakit ini baik sama seperti Security BCA yang always full senyum dan helpfull. Merasa aku tidak perlu bantuannya lagi Mas Security tersebut izin untuk kembali bertugas meninggalkanku menunggu di kursi yang tersedia, aku sangat berharap jika dokter Kaliandra segera datang. Bisa-bisanya dia mematikan telepon tanpa ada kejelasan dia mau nyamperin atau nggak. Hiiiih, ingin sekali aku remas dianya.
Dan kalian tahu apa bagian paling menyebalkan dari drama dompet ketinggalan ini? Jangan bayangkan bakal seestetik scene di novel romance atau drama series dimana pertemuan ini akan menimbulkan percik-percik hati saat bertemu. Yang ada aku dongkol karena merasa bersalah duduk dalam kondisi sehat diantara orang yang berobat belum lagi dengan tatapan si Ajeng yang udah mau kek ngajak gelut, bukan hanya memandangku tidak suka sendirian, saat staf lainnya datang dan tampak bertanya siapa aku, bisik-bisik yang terarah kepadaku membuatku tahu jika kini aku menjadi bahan ghibah mereka.
"Tahu tuh, katanya sih ngembaliin dompetnya dokter Kal."
"Uanjir rek? Yang bener? Kok bisa dompet dokter Kal ada di dia?"
"Nggak percaya kan lo? Sama gue juga, nemu dimana dokter Kal modelan kayak gitu. Hedon, nggak sesuai banget sama dokter Kal yang bersahaja, lihat saja, ini rumah sakit loh, tapi pakai high heels, dikira mau fashion show."
"Tapi Mbaknya itu memang cantik, Mbak Ajeng. Pantes-pantes saja mau pakai itu sendal yang bisa saja bikin ngegelinding."
"Cantik? Biasa saja kali Dit, semua orang mah lo katain cakep."
"Emang cantik Mbak Ajeng. Pantas saja selama ini dokter Kal nggak pernah ngelirik kita, seleranya Mbak-Mbak setinggi harapan."
"Cantik itu relatif, tapi menurut gue dia nggak cantik, yang ada malah kelihatan banget kecentilan sama dokter Kal, gue yakin dia sama saja kayak dokter Kal yang hobi ngejar-ngejar dokter idola kita."
Nggak mau ambil pusing dengan nyinyiran perempuan bernama Ajeng tersebut aku lebih memilih untuk membuka ponselku, mengecek email dan WhatsApp dari Manager yang mengurus endorsment yang aku terima selama ini. Ya, pekerjaan sampinganku inilah yang membuatku bisa berdiri diatas kakiku sendiri tanpa harus mengharap belas kasihan dari Mami dan Papi.
"Apa kalian tidak punya pekerjaan sampai bisa membicarakan orang lain?"
Mendengar teguran suara tegas dan berat yang membuat obrolan seru antara Ajeng dan lawan bicaranya yang membicarakanku membuatku seketika mendongak, dan sungguh mataku benar-benar terbelalak mendapati Pak dokter yang kaku tersebut dalam tampilan casual, dengan handuk yang ada di lehernya lengkap dengan kaos polos warna abu-abu dan celana pendek, rambutnya masih basah tampak seperti orang yang baru saja mandi di rumahnya sendiri.
Tolong, aku sama sekali tidak tahu apa dokter juga punya basecamp dan ruang istirahat seperti kami para pramugari, tapi dalam mode apapun, dokter satu ini tampak meresahkan. Jika hatiku jedar-jeder tidak karuan, maka Ajeng dan lawan bicaranya kicep membisu dengan teguran tersebut.
Tidak ingin memperburuk keadaan, aku segera bangun dan menghampirinya yang masih betah menatap tajam pada staff tersebut, kukeluarkan dompetnya dari dalam tasku dan langsung mengulurkan kepadanya, "dompetnya dok."
Dokter Kaliandra mengalihkan perhatiannya kepadaku, entah kepalaku yang konslet karena jengah menghadapi Jelita dan makhluk bernama Ajeng ini, gesture dokter Kaliandra saat menggerakkan kepalanya untuk melihatku seperti slow motion yang memperlihatkan betapa sempurnanya sisi samping wajahnya. Rahang tegas, hidung runcing dengan bibir tipis cupidnya, belum lagi dengan mata tajam yang terbingkai kacamata tipis yang membuatnya benar-benar seperti pria smart, cool macam CEO yang baru saja keluar dari novel romance.
Tuhan, Ya Allah, kenapa ada makhluk sesempurna ini? Apa Engkau sedang bahagia saat tengah menciptakannya?"Saya benar-benar lupa kalau dompet saya masih ada di kamu. Maaf ya sudah ngrepotin." Tanpa ada merasa berdosa sama sekali sudah membuat jantungku tidak aman, dokter Kaliandra bersuara dengan santainya saat meraih dompetku. Tidak ingin kelihatan bodoh hanya karena salting ditatap sedemikian rupa aku berdeham, meredakan jantungku yang menggila dan bersikap sebiasa mungkin.
"Saya yang justru minta maaf dok, kesannya kok kemarin saya kayak ngusir dokter." Aku meringis sembari memainkan tanganku, malu sendiri mengingatku yang sebal karena dokter Kaliandra yang tidak bisa diajak bercanda. Aku benar-benar merasa bersalah dan merasa terganjal jika tidak meminta maaf. Bahkan sekarnag aku sedikit malu saat bersitatap kembali dengannya, namun siapa yang menyangka menanggapi permintaan maafku, raut wajah kaku tersebut tiba-tiba saja terkekeh pelan membuatku terkejut, bukan hanya aku yang terkejut, dua staff yang baru saja ditegurnya tersebut bahkan sampai melongo mendapati reaksi tidak biasa makhluk yang sudah terstempel sebagai makhluk kaku tersebut.
"Jujur saja, saya juga sedikit syok kamu usir secara halus, Juwita. Makanya saya juga sampai lupa dengan barang penting ini."
Diangkatnya dompet hitam tersebut kepadaku masih dengan senyuman tipis yang sama, tidak hanya senyumannya yang membuat kami semua terkejut, apa yang dilakukan oleh dokter Kaliandra setelahnya pun cukup bisa membuat dua staff rumah sakit ini berteriak heboh tidak terima.
"Kamu sudah sarapan belum? Kalau belum saya mau ajak kamu sarapan sebagai ucapan terimakasih, bisa?"
Heeeeeehhh, bisa nggak ngajak makan anak orang biasa saja. Ini cuma diajak makan, tapi kenapa berasa diajak nikah woy??? Dokter Kaliandra, tanggung jawab udah bikin jantung anak orang jedag jedug kagak karuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
JUWITA (Kembaranku Perusak Bahagiaku)
RomanceJuwita dan Jelita, dua wanita cantik dengan paras serupa tersebut menjadi primadona sedari mereka kecil, sayangnya semakin mereka beranjak dewasa semakin jelas perbedaan di antara keduanya. Juwita menyukai stroberi, dan Jelita menyukai cokelat, saya...