"Saya antar pulang, mana kuncinya."
Seketika aku mendongak, mendapati sosok dingin dengan kacamata tipisnya berdiri di hadapanku, mataku yang sudah berembun sepenuhnya tidak bisa melihat dengan benar namun dari wangi desinfektan khas rumah sakit membuatku tahu siapa pria dihadapanku ini.
Ya, tawaku langsung mengudara. Menertawakan kembali bagaimana pria ini menolak permintaanku untuk membantuku namun pada akhirnya dia pun datang menghalau tamparan yang mungkin aku dapatkan dari Juna dan juga orangtuaku. Ternyata dibalik penampilan dingin dokter umum yang ketus ini, dia seorang yang peduli.
Aku berharap Papi atau Mamilah yang mengejarku namun ternyata Pak dokter satu ini yang mengkhawatirkanku. Setidaknya ada yang peduli denganku, dengan seluruh tubuh yang gemetar dan hati yang lelah karena sudah tercabik-cabik dengan kenyataan yang menyakitkan aku tidak yakin aku bisa kembali ke basecamp dengan selamat. Di depan dunia aku masih bisa tertawa, sebuah senyuman adalah topeng yang selalu aku kenakan, tapi terkadang aku ingin sekali keluar dan melompat dari jembatan karena jalan hidupku yang terlalu menyedihkan.
"Jangan tertawa seperti orang gila. Manusia sinting macam pacar dan kembaranmu nggak cukup pantas untuk membuatmu hancur. Sini kuncinya." Mendapatiku tidak kunjung meresponsnya dan justru tertawa membuat Pak dokter satu ini meraih tasku, diubek-ubeknya isi dalamnya sampai akhirnya kunci mobil yang selalu dikatain oleh Jelita sebagai mobil murah dari kaleng khong guan tersebut berhasil dokter Kaliandra temukan.
"Dok......." Panggilku pelan saat dokter Kaliandra setengah menyeretku untuk masuk ke sisi lain mobil, bahkan pria itu membukakan pintu untukku karena gemas aku terus memperhatikannya. Aku terlalu takjub dengan sikap pedulinya yang sangat tidak terduga dibalik sikap dinginnya.
"Hmmmmbbb...." Ya, sesingkat itu tanggapannya. Khas sekali dokter dingin seperti dalam drama Korea. Alih-alih menakutkan dia justru tampak sebaliknya. Aku mendongak dari tempatku duduk dan menahannya sebentar yang hendak menutup pintu. Dari jarak sedekat ini bisa aku lihat bagaimana pria berkacamata tipis ini nampak enggan untuk melihatku, tapi entahlah, kemarahan dan rasa sakit hatiku membuat otakku sepertinya bergeser. Aku sudah ditolong. Seharusnya sudah cukup sampai disana, bukan malah membercandai seorang yang tampak enggan hanya sekedar untuk berbicara.
"Bisa nggak dokter obatin hati saya sekarang? Hati saya sakit, dok. Rasanya nggak cuma cekit-cekit, tapi kayak ada yang nusuk gitu, mau muntah tapi nggak bisa, mual, perih, persis kayak asam lambung naik versi menyakitkan."
Aku mengerjap, bodohnya aku mengadu sakit hatiku pada seorang dokter, aku yakin dokter Kaliandra banyak menyelamatkan nyawa pasiennya, tapi perkara hati siapa yang bisa mengobati. Aku adalah definisi manusia yang sudab ditolong masih tidak tahu diri. Dan benar saja, bisa aku lihat dokter Kaliandra menghela nafas panjang sebelum akhirnya dia berujar dengan pelan tepat ketika pintu nyaris tertutup.
"Manusia di dunia emang tempatnya sakit hati. Nanti di akhirat bakalan nggak sedih lagi."
Loh, loh, dokter Kaliandra ini siapanya Aldi Taher, mirip banget kata-katanya. Kayaknya bukan hanya aku yang gila, dokter ganteng ini sebenarnya pun tidak kalah sinting-sintingnya.
.............. ................. ................. ...................
"Ini saya harus antar kamu kemana?"
Pertanyaan dari dokter Kaliandra yang memecah kesunyian membuatku mengalihkan perhatian dari pemandangan diluar jendela sana. Setelah adegan pertanyaan konyolku yang dibalas sama konyolnya aku pun akhirnya terdiam. Aku menyadari jika dokter Kaliandra sama sekali tidak berminat untuk menghiburku. Terlihat jelas dari jawabannya yang lugas dan tegas.
"Saya pengen pulang tapi nggak punya rumah." Ucapku lirih, ya, siapa sih yang nggak pengen pulang ke rumah setelah hari yang sangat melelahkan ini, sayangnya rumah ini sama sekali tidak aku miliki. Tempat tinggal orangtuaku hanyalah tempatku menaruh beberapa pakaian dan ada kalanya tempatku memejamkan mata tanpa ada kenyamanan untukku. Tersenyum aku menoleh ke arah dokter Kaliandra yang tampak kaku dibalik kemudinya begitu fokus pada jalanan di depan sana. "Saya mau jalan-jalan dulu, muter-muter gitu sebelum balik ke basecamp, dokter nggak keberatan?"
Aku sudah mempersiapkan diri untuk mendapatkan penolakan dari dokter Kalindra ini, tapi ternyata pria itu hanya mengangguk sebelum akhirnya dia benar-benar membawaku berputar-putar di sepanjang jalan Jakarta. Mobil ini bergerak kemanapun ke arah jalanan yang lega tanpa macet di malam hari yang masih ramai dan riuh dengan para pekerja yang ingin melepas penat untuk sekejap.
Seperti orang bodoh aku memperhatikan lampu kota yang mulai menyala dengan megahnya, menghibur kesepianku ditengah keramaian yang hingar bingar sampai akhirnya satu pertanyaan meluncur dari bibirku tanpa bisa aku cegah.
"Dok, dokter selama ini sering lihat kembaran saya datang ke rumah Juna? Dokter tahu, saya seperti orang bodoh yang dibadutin oleh pacar dan juga saudara kembar saya. Tapi nggak heran sih kembaran saya ngerebut si Juna, udah kebiasaan dia, sih. Segala hal yang saya miliki selalu dia ambil."
Sekuat tenaga aku menahan sesak di dalam dada, namun pada akhirnya tangis yang sedari tadi aku tahan pecah juga. Kembali lagi, aku hanya manusia biasa yang bisa merasakan sakit hati meskipun kenyataan ini menghantamku berulangkali. Aku tidak tahu kesalahan apa yang pernah aku perbuat sehingga orangtuaku dan Kembaranku bisa sekeji ini kepadaku. Entahlah, kebahagiaan seperti enggan untuk menghampiriku. Dia seperti saat aku merasa sudah bisa menggenggamnya.
Segala hal sudah aku lakukan untuk untuk membanggakan orangtuaku, dimulai dari mengejar prestasi, kuliah dengan biaya sendiri hasil dari menjadi reseller kosmetik dan skincare sampai akhirnya kini aku menjadi seorang pramugari di sebuah maskapai yang melayani penerbangan domestik terbesar di Indonesia, tidak ada satu pun dari semua hal itu yang di apresiasi oleh orangtuaku. Dimata mereka, hanya Jelitalah si prioritas dalam keluarga.
Dokter Kaliandra belum menjawab, namun aku sudah seperti ini anak kecil yang menangis tersedu-sedu sembari menutupi wajahku. Tidak ada tempat mengadu, tidak ada tempat bersandar, hanya air mata inilah yang mewakili betapa dalamnya perih yang ada di dalam dadaku.
"Menangis saja kalau menangis. Kita manusia, bukan Ultraman. Saya akan tepikan mobilnya."
Aku melihatnya memutar stir mobil menuju pinggiran, terlihat beberapa orang menghabiskan waktu sekedar berbincang di sepanjang trotoar bersama secangkir kopi dari gelar starling. Dan kalian tahu apa bagian paling menggelikan dari semua hal yang sudah terjadi hari? Hatiku yang sudah terlanjur rapuh menjadi begitu mudah tersentuh hanya karena hal sesepele meminggirkan mobil seperti ini. Usahaku untuk menghentikan tangisku sama sekali gagal. Aku menangis kejer seperti bayi hanya karena hal sesepele ini, tidak peduli sekarang aku berada di depan orang asing yang bahkan tidak aku kenal, aku melupakan segala rasa sakit hatiku.
Ya Tuhan, kenapa Engkau mengujiku sedalam ini?
Kenapa segala hal yang sudah aku lakukan sama sekali tidak berarti dihadapan orangtuaku? Aku harus bagaimana lagi? Sungguh aku lelah dengan kenyataan tentang kasih yang terbedakan ini."Capek ya pasti jadi kamu? Kalau capek lebih baik istirahat dahulu, kamu tahu, kamu sudah cukup hebat dalam menghadapi segala ketidakadilan yang baru saja kamu dapatkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
JUWITA (Kembaranku Perusak Bahagiaku)
RomanceJuwita dan Jelita, dua wanita cantik dengan paras serupa tersebut menjadi primadona sedari mereka kecil, sayangnya semakin mereka beranjak dewasa semakin jelas perbedaan di antara keduanya. Juwita menyukai stroberi, dan Jelita menyukai cokelat, saya...