Part 16

3.2K 348 21
                                    

Hayooook
Siapa yang Part kemarin misuh-misuh?
Berasa lagi di omelin sama Mak tahu nggak baca komentar kalian.

😂😂😂
Jangan lupa vote dan komentar biar Mamak makin semangat ya

"Wit, kamu ada uang 200 juta, nggak? Kalau nggak ada mobilmu dijual dulu, ya. Buat nikahan adikmu, Mami sama Papi lagi nggak ada duit."

"..............."

"Anggap saja duit segitu buat ganti rugi akibat huru-hara live yang kamu lakuin. Semacam uang kompensasi atas sikap kamu yang sudah mempermalukan Lita dan Juna gitu."

Sepertinya orangtuaku bukan lagi dalam taraf sinting lagi melainkan sudah dalam taraf gila yang tidak tertolong lagi. Aku mengerjap pelan, berusaha meyakinkan diriku sendiri jika apa yang aku dengar barusan benar-benar diucapkan oleh Ibuku sendiri, tapi mendapati Mami memohon penuh harap demi anak perempuannya yang lain ini benar-benar sebuah kenyataan yang harus aku terima meski menyakitkan.

"Mami mohon Wit, demi nama baik adikmu. Dia sudah kadung malu karena ulahmu, setidaknya pesta pernikahan yang megah akan membungkam mulut-mulut nyinyir orang-orang nanti."

Sudah cukup, aku tidak tahan lagi. Perlahan aku menarik tanganku dari genggaman Mami, gelengan pelan tidak bisa aku tahan mengingat bagaiamana geramnya aku dengan cara berpikir orangtuaku ini. Bisa-bisanya beliau memohon kepadaku tanpa tahu malu sedangkan beliau kemarin menamparku dan membuatku malu.

Tidak tahukah orangtuaku ini hal sederhana tentang aku yang dikhianati sedangkan Jelita adalah pelakunya? Kenapa justru aku yang ganti rugi atas semua hal yang terjadi?

"Wita nggak punya uang." Jawabku pelan, dan kalimat itu sukses membuat senyuman manis membujuk Mami lenyap sepenuhnya.

"Tuhkan sudah Lita bilang, buat apa sih Mami minta sama kakak nggak guna kayak dia! Gayanya saja yang selangit di medsos berasa selebgram, aslinya dia mana punya duit."

Jika biasanya aku selalu meradang dengan ejekan Jelita karena rasa irinya yang tidak bisa sepertiku yang bisa menjadikan medsos sebagai pekerjaan sampingan, maka kali ini aku sangat berterimakasih kepadanya. Senyuman sinis tersungging di wajahku menatap kembaranku yang sudah bersiap mengamuk rumah karena keinginannya untuk menggelar pesta pernikahan ala-ala dengan banyak perintilan yang pasti akan menguras banyak uang.

Aku tahu keuangan keluargaku sedang tidak baik mengingat pandemi membuat bisnis grosir sembako mereka goyah apalagi sekarang banyak yang lebih memilih berbelanja di Marketplace dan serba online. Jika biasanya orangtuaku akan mengabulkan apa permintaan Jelita tanpa berpikir panjang maka sekarang tampaknya agak sedikit berbeda. Hal sederhana yang diinginkan Jelita saja sudah berlebihan apalagi saat Jelita menginginkan pesta megah. Udahlah pasti diatas 500 juga minimal 200 juta seperti yang diminta Mami barusan.

"Nah itu tahu. Juwita mana ada duit, Mi. Lagipula kalaupun ada duit Juwita nggak berminat buat ngasih duit itu buat pernikahan Jelita sama Arjuna, Mami sama Papi nggak bisa tutup mata soal anak kesayangan Mami sudah nyakitin Juwi. Its oke kalau Juwita Mami suruh ngalah kayak yang sudah-sudah, Juwita nerima kok. Anggap saja emang Juwita nggak ada jodoh sama Juna." Aku menghela nafas panjang, perlu banyak tenaga dan emosi untukku agar tidak ngereog dihadapan orangtuaku, "tapi Mi, Juwita nggak ada kewajiban buat ganti rugi rasa malu anak kesayangan Mami dan mantu Mami tersebut. Tolong sekali-sekali Mami ini berpikir yang benar."

"Huuuuasss...... hussssss, diem kamu. Nggak usah ceramahin Mami." Nahkan, kembali wujud asli orangtuaku, manisnya hanya bertahan saat ada yang diinginkan. "Kamu ngerti apa anak kecil."

"Seenggaknya Juwita tahu mana yang benar dan salah. Setidaknya juga Juwita nggak bikin malu keluarga dengan hamil diluar nikah!"

"Lo itu ya......."

"Apa, apa? Nggak terima lo?" Jika biasanya aku hanya diam dan memilin mengalah lalu akhirnya pergi karena malas ribut kini aku beli semua kalimat menyakitkan orangtua dan juga kembaranku. "Memang bener kan lo bunting diluar nikah. Mana bangga banget lagi lo kemarin ngomongnya sama gue. Nggak usah gue bikin viral satu Indonesia, perut melendung lo juga bakal jadi omongan semua orang. Lagian nama baik apaan sih yang lo maksud, Lit. Kayak punya aja lo, 25 tahun lo hidup lo cuma jadi beban buat orangtua kita."

"Bilang saja lo iri lihat Mami sama Papi lebih sayang sama gue, pakai ngomong ngalor ngidul segala. Nggak jelas lo!"

Yah, andalannya kalau sudah kalah debat maka kata-kata mutiara inilah yang akan keluar dari bibir kembaranku. "Ya iyalah gue iri. Selama ini gue nggak pernah nyusahin. Sebisa mungkin gue bantu kerjaan rumah, sekolah dari SD sampai SMA gue nggak perlu bayar SPP karena gue pinter, kuliah gue dapat beasiswa. Sekarnag gue kerja bisa makan sendiri bahkan bisa gaji Mbak Isna dan biaya perawatan Nenek, nggak pernah tuh gue dipeehatiin kayak lo. Lantas sekarang setelah semua hal yang sudah terjadi gue mesti ngasih duit 200  juta buat nikahan lo gitu? Ayolah, orang waras mana yang nggak marah kalau ada di posisiku sekarang yang harus nanggung kembaran nggak guna, beban, dan nggak tahu diri macam lo!"

Jangan tanya bagaimana murkanya Jelita sekarang. Seandainya bisa mungkin dia akan mengunyah bangku saking kesalnya mendapatkan balasanku yang bertubi-tubi tidak karuan. Mendapati dirinya yang sampai tidak bisa berkata-kata membuatku menyeringai. Jangan dikira dia akan selamanya bisa menindasku.
Bodo amat orangtuaku akan menghajarku lagi, aku sudah kenyang dengan rasa ketidakadilan ini hingga hampir mati rasa.

"Bodoamat, gue benci sama lo!" Kaki panjang yang terbalut rok pendek itu menghentak dengan kesal sebelum akhirnya Jelita pergi meninggalkan ruang keluarga ini.

Jika orang waras mendengar semua hal yang aku katakan tadi setidaknya mereka akan tertampar atau tersadar tapi sepertinya segala hal yang aku katakan sama sekali tidak berguna untuk Mami, beliau sama sekali tidak menyerah namun justru semakin menjadi-jadi. Memang beliau masih tersenyum dan bersuara lembut tapi nyatanya itu hanyalah sebuah rayuan untuk meluluhkanku.

"Baiklah kalau kamu sakit hati sama semua sikap Mami dan Papi selama ini, Mami minta maaf ya. Tapi untuk kali ini, yang terakhir kalinya Mami minta tolong sama kamu, bantuin Mami, kalau kamu nggak punya duit, mobil kamu Mami jual ya."

Sontak saja aku menggeleng keras, kedua tanganku terkepal erat jika saja beliau bukan orang yang melahirkanku mungkin aku sudah mengajaknya gelut, aku benar-benar tidak paham dengan cara berpikir orangtuaku ini.

"Nggak bisa. Itu mobil Juwita sendiri tanpa andil Mami Papi sepeser pun didalamnya. Enak saja dijual buat Jelita, daripada jual mobil Juwita, ya mending itu mobil Pajero si Juna yang selalu dibangga-banggakan dijual saja. Mokondo banget jadi laki."

Dan kalian tahu apa jawaban Mami setelah semua hal panjang lebar yang aku katakan barusan?

"Ya jangan dong. Kalau mobilnya si Juna dijual ya kasihan dong, Mami bisa kena omong tetangga dikiranya mantu Mami orang nggak punya. Kamu tega sama Mami?"

Masih tanya pula, dengan kesal aku berdiri, aku merasa sudah cukup perbincanganku dengan orangtuaku yang sangat tidak bermutu ini. "Tega dong, Mami saja tega sama Juwita. Kalau bukan karena Mami ngancam pakai nama Nenek, Juwi bahkan nggak mau datang kesini."

Bisa-bisanya Mami mikir pendapat orang lain tentang Juna yang bakal kelihatan kere kalau nggak pakai mobil sementara mobil murahku yang aku beli sampai nafasku ngap-ngapan mau dijual.

Tolong, bisa tukar tambah orangtua nggak sih? Nggak apa-apa kok aku jabanin walaupun tambahnya mahal. Aku benar-benar muak.

JUWITA (Kembaranku Perusak Bahagiaku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang