Part 19

3.1K 359 16
                                    

Siapa yang nungguin jodoh Juwita datang?

.
.
.

"Loh, doa itu harus lengkap Mbak, biar Allah ngasihnya cepat dan tepat. Siapa tahu itu jodoh Mbak Juwi udah OTW datang dengan semua paket komplit yang baru saja di doakan. Kalau ada yang lengkap kenapa mesti memilih yang kurang?"

Aku mesam-mesem mendengar doa penuh antusias dari Mbak Isna, tidak ingin menolak doa baik seorang yang tulus kepadaku, aku pun memilih mengaminkannya.

"Amin, amin, Ya Allah." Kuangkat kedua tanganku layaknya aku saat tengah berdoa, "Semoga segera datang Pangeran naik BMW warna putih yang datang menjemput Hamba dan membawa Hamba ke istananya. Amin, amin ya rabbalalamin."

Kata orang bijak, kalimat positif akan membawa hasil yang positif juga dalam hidup, tidak peduli terdengar tidak masuk akal seorang yang sepertiku mendapatkan seorang yang sepertinya hanya ada di dalam novel romance, tidak ada salahnya kan berdoa seperti yang Mbak Isna katakan.

Tapi yang namanya hidup, segalanya penuh dengan kejutan yang tidak terduga, baru saja Mbak Isna mengaminkan apa yang menjadi doaku menyambut doanya beberapa saat lalu. Sebuah telepon masuk dari nomor yang tidak aku kenal.

Alisku mengernyit, rasanya tidak mungkin ini dari maskapai mengingat aku masih punya waktu bebas sampai besok, aku terlalu trauma mengangkat nomor tidak aku kenal karena seringkali itu adalah ulah dari para penumpang yang sekedar menggodaku, satu kali panggilan itu terlewat aku kira nomor itu tidak menelepon lagi, dan itu berlanjut sampai di panggilan ketiga baru aku merasa ini adalah panggilan urgent.

"Diangkat dulu, Wi. Siapa tahu penting."

Mendapati perintah Nenek aku langsung mengangguk, usai berpamitan pada Nenek dan meminta beliau untuk istirahat, aku menekan tombol hijau dilayar ponsel flipku. Aku tidak bisa menebak siapa yang getol sekali dalam menghubungiku sampai suara berat yang menyapa diujung sana membuatku semakin kebingungan.

"Halo, ini benar kan dengan nomor Juwita?"

Untuk sejenak aku tidak menjawabnya dan malah menatap profil kosong di layar, sama sekali tidak memiliki gambaran siapa yang menelepon. Dan dengan bodohnya aku balik bertanya dengan ragu.

"Iya, dengan siapa ya?"

Terdengar suara hembusan nafas yang terdengar diujung sana. "Syukur, kirain yang ngasih nomor ini cuma bohong."

Dahiku mengernyit. Semakin aku mendengar semakin aku tidak memiliki gambaran siapa yang tengah meneleponku ini. "Memangnya ini siapa ya? Ada perlu apa sama saya?" Tanpa basa-basi aku langsung bertanya, sedikit penasaran sekaligus jengah. Meskipun aku bekerja di bidang jasa namun untuk sekedar berbasa-basi aku bukanlah ahlinya.

"Saya Kaliandra, Mbak Juwita. Saya mau ngembaliin mobil, Mbak."

Busyeeeetttttt, aku sempat kegeeran mengira jika yang menelpon adalah salah satu Customer genit tapi rupanya yang menelpon adalah Pak dokter ganteng yang bahkan aku sendiri lupa jika mobilku dibawanya. Menyadari kebodohanku ini tanpa aku sadari aku tertawa terkekeh sendiri.

"Astaga, Pak dokter. Ya ampun. Sorry. Saya lupa kalau mobil saya dibawa sama Pak dokter." Aku menepuk jidatku kuat, bisa aku bayangkan bagaimana gondoknya dokter yang mahal senyuman tersebut menghadapiku yang sok jual mahal ini. Bisa-bisanya aku mengira jika dia adalah salah satu Customer genit. Tawa garing keluar dari bibirku, berusaha menyembunyikan salah tingkahku meski aku tahu jika dokter Kaliandra tidak akan melihatnya.

"Ini tadi saya minta alamat rumah kamu dari salah satu temanmu yang ada di basecamp, benar nggak ya rumah warna putih krim pagar stainless?"

Aku terdiam sejenak, berusaha mengingat warna dan pagar rumahku ini dan saat mendengar suara klakson mobil yang sangat aku hafal suaranya, aku langsung tahu jika itu adalah mobilku. Kalian pasti sama sepertiku, kan? Bisa mengenali kendaraan kalian hanya dari suara klakson, suara mesin atau bahkan decitan kampas rem yang sudah terlalu usang.

"Pak dokter udah diluar?" Tanyaku sembari berlari ke depan, iya, aku benar-benar berlari dari belakang rumah menuju ke depan membuat penghuni rumah dan ART keheranan dengan tingkahku, tapi bodo amat aku tidak peduli. Aku sendiri masih terheran-heran dengan effort Pak dokter dalam menepati janjinya untuk mengembalikan mobilku. Tidak aku sangka jika dia akan benar-benar mengembalikan mobilku secepat ini mengingat seorang dokter yang bahkan siap siaga dipanggil kapan saja sepertinya tentu memiliki waktu terbatas.

"Iya saya diluar, itu suara ngos-ngosan dari dalam  kamunya lari nyamperin saya?"

Tidak perlu aku untuk menjawabnya karena detik berikutnya aku sudab nongol di teras dan tersenyum ke arahnya sembari melambai, dengan pakaian yang masih sama seperti kemarin, celana pendek dan kaos, tampak Pak dokter satu itu bersandar di mobilku menatap ke arah rumahku. Tubuh jangkung itu menegap saat aku menghampirinya.

Seolah lupa jika hidupku baru saja di hantam badai, aku nyengir ke arahnya, jangan tanya apa alasannya tapi aku menyukai Pak dokter di hadapanku ini. Bukan dalam konteks yang bagaimana-bagaimana apalagi dalam rangka genit atau semacamnya. Aku menyukai dokter Kaliandra karena dia yang baik kepadaku dan sikap hangat yang tersembunyi dibalik sikap acuhnya.

Tanpa aku sadari aku merapikan rambutku, bahkan saat melewati kaca aku menyempatkan diri melirik bayanganku dan melihat bagaimana penampilanku sekarang. Tidak buruk, dengan kaos putih dan celana denim aku tidak burik. Meski tidak ada maksud apapun, berpenampilan layak dan menarik adalah satu kewajiban untukku.

"Buru-buru amat dok balikinnya." Sapaku saat aku sampai di hadapannya. Bersyukur tinggi 168 membuatku tidak begitu jomplang saat berhadapan dengannya sekarang ini, tangan tersebut mengulurkan kunci mobil yang langsung aku terima. Bisa aku lihat kantung mata hitam yang menunjukkan jika dia sangat kekurangan waktu tidur. Gemas sekali rasanya aku untuk merekomendasikan masker mata pada Pak dokter satu ini.

"Sudah janji kan buat segera balikin. Terimakasih, berkat bantuan kamu, pasien urgent bisa saya selamatkan." Meskipun dia mengucapkan terimakasih tetap saja wajah itu terlihat lempeng, aku benar-benar penasaran dengan raut wajahnya yang lain. Penasaran apa Pak dokter satu ini bisa tertawa dan tersenyum seperti manusia lainnya. Pembawaannya khas sekali dokter UGD yang ketus dan satset mode senggol bacok yang serba terburu-buru dalam segala hal.

"Biasa saja dok, dokter juga sudah nemenin saya. Kalau nggak, bisa jadi saya khilaf gantung diri di pohon tauge." Tidak ingin terlihat menyedihkan aku berusaha untuk mencairkan suasana. Ya, aku bersedih tapi tidak sampai di taraf aku akan menggalau hanya karena Juna. Sesak itu masih ada tapi aku memilih mengabaikannya.

Salahnya aku adalah bercanda dengan seorang yang tidak memiliki selera humor, alih-alih menanggapi guyonanku, dokter Kaliandra justru melongok belakang tubuhku.

"Itu bukannya mobilnya Arjuna, ya? Dia benar-benar tinggal di rumahmu selama dia belum mengurus pernikahannya secara resmi kayak yang di bilang Pak RT?"

"Rencananya sih seperti itu. Suka nggak suka ya terima saja sih dok, mau gimana lagi?" Jawabku seadanya, dan itu membuat dokter Kaliandra geleng-geleng tidak percaya.

"Ya bener sih ini rumah orangtuanya kembaran kamu, tapi kok ya nggak malu si Arjuna. Kamu nggak apa-apa tinggal satu rumah dengan mantan yang sekarnag jadi adik ipar, apalagi cara mereka bersama sangat menyakitkan untukmu."

Dibandingkan mendengarkan pertanyaan tentang Juna aku justru lebih tertarik dengan wajah penasaran dokter Kaliandra, dia menatapku campuran tidak percaya akan apa yang dilihatnya dan rasa ingin tahu akan jawabanku, entah setan mana yang kini berkelebat di otakku, secuil ide jahil kini hinggap di kepalaku yang membuatku mendekat pada dokter Kaliandra yang jelas sekali terkejut dengan apa yang aku lakukan. Sedikit berjinjit karena dia yang begitu jangkung aku membisikkan kata-kata tepat di telinganya.

"Sebenarnya saya tidak suka, dok. Makanya kalau dokter mau bawa saya pergi dari sini saya bersedia kok."

JUWITA (Kembaranku Perusak Bahagiaku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang