"Ya jangan dong. Kalau mobilnya si Juna dijual ya kasihan dong, Mami bisa kena omong tetangga dikiranya mantu Mami orang nggak punya. Kamu tega sama Mami?"
Masih tanya pula, dengan kesal aku berdiri, aku merasa sudah cukup perbincanganku dengan orangtuaku yang sangat tidak bermutu ini. "Tega dong, Mami saja tega sama Juwita. Kalau bukan karena Mami ngancam pakai nama Nenek, Juwi bahkan nggak mau datang kesini."
Bisa-bisanya Mami mikir pendapat orang lain tentang Juna yang bakal kelihatan kere kalau nggak pakai mobil sementara mobil murahku yang aku beli sampai nafasku ngap-ngapan mau dijual.
Tolong, bisa tukar tambah orangtua nggak sih? Nggak apa-apa kok aku jabanin walaupun tambahnya mahal. Aku benar-benar muak.
"Durhaka, kamu Juwita! Ini balasan yang kamu berikan kepada orangtua yang sudah melahirkanmu ke dunia. Ini balasan air susu yang sudah Mami berikan kepada kamu, hah?"
Langkah kakiku seketika terhenti saat mendengar sumpah serapah Mami, mataku terpejam meresapi perih yang aku rasakan bagaimana air susu yang sudah menjadi kewajiban orangtua pun di ungkit oleh beliau.
"Mami, sudahlah, Mi. Jangan seperti ini." Untuk pertama kalinya dalam 25 tahun hidupku aku mendengar Papi membantah ucapan Mami, terlalu cinta pada Mami dan merasa bersalah karena membuat hidup Mami turun membuat Papi seolah tidak memiliki kuasa.
"Bagus ya si Papi mulai berani lawan Mami. Mami cuma minta si Juwita bantuin adiknya. Adiknya malu juga karena ulahnya, kan? Dan sekarang dia malah menggurui Mami, memang dasarnya anak kurang ajar nggak bisa diatur. Sekarang kalau mau hitung-hitungan sama Mami, ayo sini, Wit. Kita hitung seberapa banyak hutang budi kamu sama Mami, bisamu cuma ngehitung kesalahan orangtua tapi sebagai anak nggak bisa berbakti."
Bakti adalah uang, simpelnya itulah yang Mami sampaikan dibalik kalimat panjang lebar yang membuat kepalaku pusing tersebut.
Bukan aku tidak memiliki uang dengan nominal tersebut. Tapi aku tidak rela jika uangku harus dipakai untuk menyenangkan Jelita. Ya Tuhan, urusan dosa atau tidak, durhaka atau tidak, aku serahkan segala-Nya kepada-Mu. Kedua tanganku mengepal, menahan segala hal yang membuat dadaku terasa sesak.
"Mau Mami bilang Juwita durhaka, Juwita nggak bakal ngasih sepeserpun uang Juwita buat Jelita."
"Kalau begitu pergi kamu dari rumah ini!" Sontak saja Mami berdiri, kedua tangan beliau berkacak pinggang dengan mata melotot penuh kemarahan, mungkin ini adalah kemarahan beliau yang paling besar yang pernah aku ingat. "Bawa pergi Nenek sama pembantumu yang tidak berguna itu. Untuk apa kamu di rumah ini jika membalas jasa orangtuamu saja tidak mau. Pergi kamu!"
Ditariknya tanganku sekuat tenaga, berusaha untuk mengusirku pergi, Mami benar-benar seperti orang kesetanan sekarang ini karena permintaan beliau tidak aku penuhi apalagi aku yang terkesan menantang beliau. Namun tidak sejengkal pun aku beranjak, hingga akhirnya Papi pun turun tangan.
"Wit, kamu kalau ada uang mbok ya dibantu kami ini. Kasihan Mamimu dari semalam nggak bisa tidur stres mikirin si Jelita. Apalagi keluarga Arjuna yang angkat tangan, belum lagi Arjuna yang banyak proyeknya di pending karena video viral semalam. Tolongin kami lah, Wit. Usaha Papi benar-benar keguncang karena banyaknya Customer milih belanja online."
Sebenarnya aku sedikit iba mendengar keluhan dari Papi, apalagi beliau yang sekarang tidak sepenuhnya membela Mami, sayangnya Mami yang sudah kepalang malu kembali memakiku membuatku berubah pikiran.
"Halah ngapain sih Papi minta-minta sama nih anak nggak guna. Biarin saja kalau memang dia nggak mau bantu dan balas budi, biar dia minggat sekalian. Tuh bawa Nenek sama pembantumu, bikin sumpek rumah saja!"
"Kalau ada yang harus angkat kaki dari rumah ini yang jelas itu bukan Juwita atau Nenek. Mami lupa rumah ini atas nama siapa? Rumah ini atas nama Juwita secara sah hibah dari Nenek." Percayalah, sekalipun aku begitu tegak dalam menghadapi wanita yang sudah melahirkanku, hati kecilku teramat perih karena harus melawan beliau. Kebencian yang terlihat disetiap pandangan beliau saat aku mengingatkan hal yang paling tidak ingin aku bahas benar-benar hal terakhir yang aku inginkan. Namun semakin lama Mami semakin kelewatan, tidak apa Mami memakiku, sebagai anak aku mungkin banyak mengecewakan seperti yang beliau katakan tapi Nenek? Meski bagaimana pun Nenek adalah mertuanya. Papi bisa memiliki rumah di Jakarta dan dibangun semegah ini karena penjualan kebun sawit milik Nenek, Papi bekerja keras agar Mami tidak hidup kekurangan seperti saat dikeluarganya dulu bahkan sampai lupa berbakti pada orangtua. Selama ini akulah yang mengambil peran Papi dalam merawat Nenek tidak heran 3 tahun lalu saat aku mulai menjadi cabin crew Nenek memberikan rumah ini atas namaku. "Orangtua yang Mami anggap sebagai penyebab sumpeknya rumah ini adalah orang yang sudah memberikan Mami tempat berteduh dan membesarkan orang seperti Papi yang selalu mengupayakan segalanya untuk Mami. Jadi baik-baik ya Mi, jika tidak Mami, Papi, dan Jelita serta Mantu Mami itu harus angkat kaki dari rumah ini."
"JUWITA KURANG AJAR!! Menyesal aku melahirkan anak setan sepertimu." Apapun yang ada diatas meja dibanting oleh Mami, setiap barang yang bisa beliau raih dilemparkan secara membabi buta kepadaku, bahkan mungkin beliau benar-benar akan membunuhku jika saja Papi tidak menahan beliau. Aku sangat yakin dihati kecil Papi pun beliau pasti sedih mendapati Mami begitu merendahkan Nenek.
Tidak ingin memperburuk keadaan yang sudah buruk. Aku segera berlalu, perlahan aku melangkahkan kaki menuju bagian belakang rumah, meninggalkan suara teriakan Mami yang perlahan tidak terdengar. Sekarang kalian tahu kan kenapa aku tidak bisa pergi, ada rumah ini milik Nenekku yang harus aku jaga. Aku tidak ingin mengecewakan seorang yang menyayangiku.
Sungguh aku lelah sekarnag ini dan saat aku ingin menghindar aku justru bertemu dengan Juna dan juga Jelita di dapur. Entah apa yang dilakukan dua orang ini dan yang tengah mereka perdebatkan, aku sama sekali tidak berminat mencari tahu. Untuk sekedar melirik saja sudah enggan, sayangnya bukan Jelita jika tidak mencari masalah.
"Mau ngapain lo nyusulin gue kesini? Mau minta maaf lo?"
Aku berdesis sinis, heran dengan tingkat kepercayaan diri Jelita yang kadang masuk di taraf tidak masuk akal.
"PD amat mau minta maaf sama lo! Yang ada gue mau ngasih tahu lo, kalau kalian berdua nggak sanggup bikin pesta pernikahan sadar diri nggak usah minta macam-macam. Jangan malah nyusahin orang lain. Selingkuh bisa, biaya buat nikahan nggak ada. Tccciiihhhh, kasihan amat lu Lit, susah-susah godain pacar gue akhirnya lo yang modal semuanya. Murahan lo."
Jelita mencibir, tidak mau kalah denganku. Untuk sejenak kami melupakan kehadiran si Juna biang kerok diantara kita. "Kata siapa gue nggak bisa wujudin wedding dream gue, hah? Apapun yang terjadi, gue bakal gelar acara pernikahan impian gue seindah mungkin, ya kan, Babe? Kamu bakal tepatin janji kamu dulu, kan?"
Jelita melingkarkan tangannya ke lengan Juna dan menatap mantan pacarku itu dengan manja, sedikit aneh rasanya melihat pria yang kemarin lusa masih aku panggil Sayang namun sekarnag sudah berubah status menjadi adik iparku, dibandingkan marah dan kecewa, aku justru geli sendiri mendapati bagaimana Juna risih dengan sikap genit Jelita yang seakan ingin memamerkan kemesraannya kepadaku.
Dia pikir apa yang dia lakukan itu membuatku cemburu? Ooooh tentu tidak. Prinsipku adalah buang sampah pada tempatnya seperti membuang si Sampah Juna kepada Jelita si Tong sampah yang selalu mengais bekasku.
"Baguslah kalau begitu, buat acara yang megah secara kan suaminya Arsitek di perusahaan kontraktor kondang ya. Malu dong kalau buat nikah saja minta sama Kakak ipar, oooh ya, Jun......"
Beralih dari Jelita aku menatap ke arah Juna yang tampak salah tingkah karena aku memanggilnya selugas ini.
"Baik-baik kalau mau numpang dirumah ini. Ajari istrimu itu untuk bersikap baik jika tidak mau aku tendang dari rumah ini. FYI, ini rumahku, bukan rumah mertuamu apalagi rumah warisan buat istrimu tercinta."
".............."
"Istrimu tercinta cuma punya isi celana dalam yang sudah entah berapa orang yang mencicipinya hanya demi membuat mereka pergi meninggalkanku."
"..........."
"Kalau tidak bisa bersikap baik, sana balik ke rumahmu sendiri. Duit buat cicilan masih aman kan pasca viral?"
KAMU SEDANG MEMBACA
JUWITA (Kembaranku Perusak Bahagiaku)
RomanceJuwita dan Jelita, dua wanita cantik dengan paras serupa tersebut menjadi primadona sedari mereka kecil, sayangnya semakin mereka beranjak dewasa semakin jelas perbedaan di antara keduanya. Juwita menyukai stroberi, dan Jelita menyukai cokelat, saya...