Part 18

3.5K 359 17
                                    

"Baik-baik kalau mau numpang dirumah ini. Ajari istrimu itu untuk bersikap baik jika tidak mau aku tendang dari rumah ini. FYI, ini rumahku, bukan rumah mertuamu apalagi rumah warisan buat istrimu tercinta."

".............."

"Istrimu tercinta cuma punya isi celana dalam yang sudah entah berapa orang yang mencicipinya hanya demi membuat mereka pergi meninggalkanku."

"..........."

"Kalau tidak bisa bersikap baik, sana balik ke rumahmu sendiri. Duit buat cicilan masih aman kan pasca viral?"

Jahat? Ya mungkin itu kata yang tepat untukku saat aku berbicara demikian kepada saudari kembarku yang tengah hamil ini, tapi ya sudahlah ya, kadang untuk beberapa orang tidak peduli seberapa baik kita bersikap, kita akan selalu menjadi tokoh antagonisnya. Dalam kasusku dan Jelita, masalahnya ada dalam diri Jelita yang selalu ingin lebih dariku, jika orangtuaku mau membuka matanya sedikit saja mungkin langkah terbaik adalah membawa si Narsis nan egois ini ke psikolog biar diobservasi atau sekalian masukin ke rumah sakit jiwa karena otaknya yang sudah geser.

Tanpa peduli Jelita yang kembali berkoar-koar seperti Tarzan dan menyumpahiku dengan segala kalimat busuk, aku terus melangkah pergi menuju rumah bagian belakang meskipun sebenarnya aku sangat penasaran dengan raut wajah frustrasi Arjuna.

Aku sangat mengenal Arjuna, satu setengah tahun bukan waktu yang sebentar meski intensitas pertemuan kami terbatas karena tuntutan pekerjaan kami, tapi aku sangat tahu jika Juna bukan orang yang sabar dalam menghadapi rengekan atau rajukan karena kepalanya sudah mumet dengan berbagai deadline, tapi mungkin itu tidak berlaku saat dia menghadapi Jelita yang hobinya dari dulu memang merengek.

Audaaah, sudahlah, suka-suka mereka. Terserah mau pengertian atau gelut aku enggan memikirkannya. Mikirin bakal satu atap dengan mereka saja aku sudah eneg sendiri.

"Mbak Juwi, yang saya dengar itu benar ya, Mbak?

Baru saja aku memasuki kamar Nenek yang sengaja dibuat di bagian belakang rumah, tempat yang sebenarnya gudang namun perlahan aku mengubahnya menjadi tempat yang nyaman agar nenekku yang sudah sepuh tersebut nyaman beristirahat, Mbak Isna, seorang tetangga dari kampung Nenek yang aku minta untuk menjaga Nenek langsung mencecarku dengan pertanyaan yang sebenarnya enggan untuk aku bahas.

Selain karena aku muak dengan kembaran dan mantan pacarku yang menggatal, juga karena aku tidak ingin nenek bersedih. Terlihat jelas diwajah beliau yang renta beliau begitu sedih saat menatapku. Sayangnya Mbak Isna sama sekali tidak peka. Mendapatiku memilih terdiam dan menghampiri Nenek, wanita berusia 40 tahun yang sudah trauma dengan pernikahan ini justru memburuku.

"Ituloh Mbak, perkara Mbak Jelita sama Mas Arjuna, benar mereka mau nikah? Kan pacarannya sama Mbak Juwita, kenapa tiba-tiba malah si Mami heboh soal pernikahan mereka. Nggak kebalik ya Mbak? Tapi masa sih Mbak emak sendiri kebalik, kan yang lahirin. Saya saja bisa bedain Mbak sama Mbak Jelita, masak Maminya Mbak nggak bisa."

Bibirku menipis tanpa aku inginkan karena menahan umpatan yang sudah ada di ujung bibirku. Dan benar saja karena rentetan tanya dari Mbak Isna membuat Nenek yang ada di hadapanku menatapku sendu.

"Juwita, Jelita nakalin kamu lagi, ya?"

Jika sudah seperti ini bagaimana aku akan menjawab tidak dan menghindarinya lagi. Sebisa mungkin aku tersenyum, berusaha menunjukkan pada Nenek jika aku baik-baik saja. "Udah biasalah Nek, dari dulu si Lita kan kayak gitu. Walaupun agak nyesek tapi ya sudahlah, anggap saja nggak ada jodoh Nek."

Wajah sepuh itu semakin sendu, tangan beliau yang sudah mulai gemetar saat digerakkan tersebut terangkat mengusap pipiku perlahan, dan sungguh aku sangat menyukai hangatnya tangan Nenekku. Lelah dengan semua hal yang aku rasakan aku memilih untuk tertidur disamping Nenek. Ya, rumah dingin yang menjadi tempat tinggalku ini bisa menjadi nyaman karena beliau seorang.

"Yang sabar ya, Cucu Nenek. Nenek selalu berdoa semoga kamu dapat jodoh yang baik dan sayang sama kamu. Semoga nanti suami kamu bisa sayang dan memberi segala hal yang tidak bisa diberikan orangtuamu."

Kalian tahu, dirumah ini aku paling pantang meneteskan air mata karena aku sadar menangis tidak akan mengubah apapun. Tangisan hanya memperburuk keadaan namun di hadapan Nenek, lagi dan lagi aku meneteskan air mata. Rasa sakit yang mengucur lewat air mata tanpa isakan ini adalah rasa sesakku yang sesungguhnya.

Ya Tuhan, terlalu berlebihankah diriku jika aku berharap doa yang Nenek panjatkan untuk terkabul? Tidak, aku tidak ingin seorang yang muluk-muluk seperti Irfan Bachdim atau Indra Priawan, cukup dia yang bisa mencintaiku tanpa tergoda saudariku dan tahan dengan orangtuaku yang menyebalkan.

"Nek, ikut Juwi keluar dari rumah ini, yuk! Nenek sama Mbak Isna ikut Juwi keluar ya, biar Nenek enak gitu istirahatnya tanpa keganggu Mami yang ngrecokin." Lama aku terdiam menumpahkan segala kesedihanku dalam deraian air mata dan buaian sentuhan Nenekku sampai akhirnya aku mengutarakan keinginanku walau pada akhirnya jawaban yang sama akan selalu aku dapatkan.

"Maafin Nenek ya, Juwita. Maaf karena Nenek menahanmu di rumah ini, tapi Nenek tidak bisa pergi Cucu Nenek yang cantik. Rumah ini hasil dari penjualan warisan Kakekmu, satu-satunya tempat yang membuat Nenek merasa dekat dengan Kakek."

Sebesar itu cinta yang Nenek miliki untuk Kakek yang bahkan belum pernah aku lihat seumur hidupku. Kakek tiada saat Papi menginjak SMA, membuat Nenek harus mengurus kebun sawit sendiri dengan banyak pekerja curang yang konon katanya membuat Nenek kelabakan, sebagai seorang wanita Nenek banyak disepelekan, namun dengan tekad dan demi masa depan Papi, Nenek bisa menjalani semuanya. Sungguh apa yang aku rasakan sekarang tidak ada apa-apanya dengan apa yang dirasakan oleh Nenek.

Membesarkan anak seorang diri, menjual apa yang dimiliki untuk modal anak semata wayangnya dan saat mendapatkan menantu, Mamiku justru membenci Nenek dan memperlakukan beliau layaknya pembantu dan beban. Astaga, Mamiku itu benar-benar paket komplit yang menyebalkan.

Meski aku kecewa dengan jawaban Nenek, tapi aku mencoba tersenyum, di usia beliau yang sudah mulai senja ini aku hanya ingin membahagiakannya. Tidak apa aku bertahan di rumah ini lebih lama asalkan Nenek bisa senang.

"Ya sudah kalau begitu, susah sih kalau urusan sama orang bucin." Tanggapku berusaha melucu dan itu membuat Nenek terkekeh. Suasana sendu itu perlahan mencair, kuraih tangan beliau dan menggenggamnya dengan erat. "Tapi Juwi minta maaf ya Nek, Juwi kayaknya nggak bisa terlalu sering pulang, Juwi nggak suka lihat Jelita sama suaminya di rumah ini. Demi kewarasan Juwi, Juwi izin sama Nenek buat jarang pulang ya."

Bukan aku tidak move on atau masih menginginkan Juna, sungguh aku sudah membuang sampah bernama Juna itu dengan senang hati untuk Jelita, tapi membayangkan dua manusia itu bermesraan seperti yang tadi Jelita lakukan membuatku bergidik geli sendiri. Nasib baik Nenek paham denganku.

"Tenang saja Mbak Juwi, Nenek bakal Isna jaga sebaik mungkin."

"Terimakasih loh Mbak Isna, Juwi benar-benar berterimakasih sama Mbak. Nggak bisa Juwi bayangin kalau nggak ada Mbak."

Perempuan awal 40 tahunan tersebut tertawa, tawa renyah yang membuatku bisa merasakan ketulusannya, "justru saya yang terimakasih sama Nenek dan Mbak Juwi, kalau bukan karena kalian mungkin sekarang saya sudah mati dihajar sama Solikin Edan tersebut. Moga aja itu laki modar ditabrak truk tinja."

Yah, namanya orang hidup ya, macam-macam ujiannya. Aku diuji dengan kembaranku yang kelewat narsis dan egois sementara Mbak Isna diuji dengan mantan suaminya yang edan.

"Mbak Juwi hati-hati ya milih suami. Jangan sampai kayak saya, apes seumur hidup. Saya selalu berdoa semoga Mbak segera di pertemukan dengan jodoh yang ganteng, baik, pengertian, sayang, cinta mati, dan kayanya tujuh turunan, delapan tikungan, sepuluh tanjakan kayak Anthony Salim."

"Busyet, nggak kebanyakan Mbak doanya." Tawaku seketika mengudara mendengar doa yang Mbak Isna berikan.

"Loh, doa itu harus lengkap Mbak, biar Allah ngasihnya cepat dan tepat. Siapa tahu itu jodoh Mbak Juwi udah OTW datang dengan semua paket komplit yang baru saja di doakan. Kalau ada yang lengkap kenapa mesti memilih yang kurang?"

JUWITA (Kembaranku Perusak Bahagiaku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang