Part 15

3.2K 337 46
                                    

Juwita Wardani dan Jelita Ayu Wardani. Mendapati nama yang ada di potret kartu keluargaku tersebut membuatku menghela nafas panjang. Bahkan dari nama pun sudah terbedakan.
Terkadang terbersit satu keinginan untuk pergi selamanya dari rumah karena aku enggan melihat kasih sayang berlebihan yang diberikan orangtuaku kepada Jelita.
Benar Papi dan Mami tidak memukulku atau menganiayaku, tapi mendapati aku diabaikan, dipaksa mengalah dan dipaksa menyaksikan betapa berbedanya Jelita dalam diperlakukan. Bak seorang tuan putri yang tidak boleh kesusahan maupun terluka.

Dan jika kalian bertanya apa yang membuatku bertahan di tempat mengerikan tersebut sementara aku sudah bisa mandiri dalam segala hal, maka jawabannya adalah Nenekku. Ibu dari Papi tersebut adalah satu-satunya orang yang peduli kepadaku di rumah mengerikan tersebut. Saat orangtuaku pergi membawa Jelita maka Neneklah yang akan mengajakku sekedar jalan-jalan ke taman komplek dan membeli sebungkus es loli rasa jeruk.

Aku sempat mengira perlakuan buruk itu hanya diberikan kepadaku, tapi rupanya Nenek pun mengalami hal yang sama. Saat masih kuat Nenek diperlakukan bak pembantu yang mengurus segala hal di dalam rumah, sedangkan saat beliau sudah menua dan sakit-sakitan beliau diabaikan begitu saja, bahkan aku masih ingat dengan benar bagaimana saat aku pergi untuk KKN, berat badan Nenek menurun drastis dan sakit karena Mami hanya memberikan makan sekali itu pun sangat tidak layak.

Dan kalian tahu apa alasan orangtuaku berlaku kejam demikian? Itu karena perbedaan status sosial. Satu kali nenek pernah bercerita jika Mami anak orang kaya dari daerah Jawa Tengah yang memilih membangkang dan melarikan diri dari rumah karena Mami mencintai Papi yang notabene adalah anak petani sawit sederhana, apalagi status Nenek yang seorang Janda, semakin dipandang sebelah matalah Papi dulu, segala hal dilakukan Papi untuk membahagiakan Mami, banyak usaha dilakoni Papi sampai akhirnya usaha grosir sembakolah yang membuat ekonomi Papi dan Mami menanjak, tapi rupanya meski ekonomi sudah berubah kebencian Papi dan Mami terhadap Nenek masih berlanjut, kedua orangtuaku tersebut menyebut nasib buruk Mami yang terusir dari keluarganya adalah karena kemiskinan Nenek.

Lucu sekali bukan orangtuaku, sangat menggelikan memang cara mereka dalam berpikir, bahkan terhadap orang tua pun mereka bisa sejahat ini. Astaga demi Tuhan, jika bukan karena Nenek, tidak sudi rasanya aku menginjakkan kakiku untuk sementara waktu ini ke rumah lagi.

"Kayaknya capek banget, Mbak?"

Suara teguran dari Mas-Mas taksol yang ada di depan ini membuatku tersentak, bisa aku lihat jika dia melirikku melalui kaca dalam namun dengan cepat aku membuang muka, bukan maksudku sombong namun aku sedang malas berbasa-basi dengan siapapun.

Dalam waktu semalam sakit hatiku belum berkurang sama sekali dan sekarnag pagi-pagi ini aku harus kembali ke rumah dengan dalih ada rapat keluarga, entah kerusuhan apa lagi yang akan dilakukan oleh orangtuaku untuk membuatku stress, sepertinya orangtuaku ini terobsesi menyiksaku secara verbal dan tidak akan berhenti sampai aku menjadi gila.

"Iya, Mas. Capek hati dan pikiran." Jawaban singkat itulah yang aku berikan sebelum aku menutup mata. Kode untuknya jika aku tidak ingin diganggu selain aku juga ingin beristirahat barang sejenak, siapa tahu semua hal buruk yang terjadi dalam hidupku ini hanyalah sebuah mimpi mengerikan yang akan menghilang seiring dengan terbukanya mataku nanti.

Sungguh pemikiran yang sangat konyol. Alih-alih semua hal buruk menghilang, yang ada saat membuka mata karena di bangunkan oleh Mas-Mas Taksol karena sudah sampai tujuan, tepat di depan pintu gerbang yang terbuka terlihat mobil yang sangat familiar di mataku. Sontak saja rasa malas menjalar di tubuhku, sungguh aku benci harus berhadapan dengan pemilik Pajero yang tengah merokok di teras tersebut. Wajahnya yang biasanya tampan khas seorang Arsitek yang mapan kini tampak kusut berantakan. Tidak perlu ditanya lagi sudah pasti video viral akibat live streamingku membuat masalah untuk sosok Juna.

Pria dalam kaos polo warna putih itu seketika langsung menegakkan tubuhnya saat melihatku datang, terlihat dari gesturenya dia ingin mengajakku berbicara namun aku berpura-pura tidak melihatnya.

"Kok kamu naik taksi, Wit? Kemana mobilmu?" Seolah tidak terjadi apapun dan dengan sangat tidak tahu dirinya Juna bertanya. Langkahku terhenti, dengan dagu terangkat aku menatapnya dari atas kebawah. Ada penyesalan dimatanya namun aku justru melemparkan senyuman sinis

"Siapa Anda nanya-nanya? Memangnya saya kenal?" Kukibaskan rambutku sembari berlalu masuk ke dalam rumah, sampai di dalam bisa aku dengar teriakan Jelita menyambutku, khas dirinya yang selalu berteriak dalam hal apapun apalagi itu jika menyangkut sesuatu yang dia inginkan. Aaaah Tuan Putri selalu berbeda ya, jika aku yang berteriak macam Tarzan seperti itu mungkin Papi dan Mami akan menendangku ke jalanan.

"Pokoknya Lita nggak mau tahu ya, Pi, Mi. Pernikahan Lita harus dirayakan secara megah, malu dong kalau cuma nglegalin di KUA doang. Mau ditaruh dimana reputasi Jelita, Mi. Apa kata orang-orang."

"Tapi Lit, kamu dengar sendiri kan kalau orangtua Arjuna nggak bisa urun apa-apa. Mereka bahkan angkat tangan maunya Arjuna terserah, mereka kadung malu gegara penggerebekan kalian. Apalagi kamu sudah kadung hamil."

"Ya bodo amat orangtua Juna nggak setuju, toh nikahnya sama Juna, bukan sama orangtuanya. Soal hamil ini, ya sudahlah Mi, walau bagaimana pun ini cucu Mami. Darah daging Mami."

"Kalau sudah tahu begitu mbok ya ngertiin Mami Papi sedikit toh, Lit. Usaha Mami sama Papi masih agak macet gegara pandemi kemarin, belum sepenuhnya pulih, kalau kamu minta pesta segede itu Papi sama Mami ya nggak bisa. Bisa goyang modal usaha Papi sama Mami...."

"Oooohhhh jadi Papi sama Mami lebih mentingin grosiran daripada nama baik anak Mami? Asal Mami tahu ya, pesta pernikahan itu kewajiban kalian sebagai orangtua. Kalau bisa milih, Lita nggak mau punya orangtua medit, pelit dan miskin kayak kalian....."

Hebat bukan kelakuan anak kesayangan Mami dan Papi, sudah berkata sekasar dan seketerlaluan itu pun masih di maklumi oleh orangtuaku. Benar-benar definisi anak kesayangan yang tidak pernah salah.

Tokkkk....... Tooookkkkk

Kuketuk pintu di ruang keluarga yang sudah terbuka tersebut, menginterupsi perdebatan seru antara Ibu dan anak yang sama sekali tidak sadar akan kehadiranku. Seperti  biasa tatapan permusuhan terlihat di wajah Jelita, wajahnya masih lebam di beberapa bagian karena aku yang kemarin menghajarnya. Jika biasanya Mami akan melayangkan tatapan masamnya kepadaku, maka kali ini sebuah sikap mengejutkan aku dapatkan dari beliau.

"Wit, syukur Alhamdulilah kamu datang pagi-pagi. Mami sudah semalaman puyeng nggak bisa tidur. "Beliau tersenyum kecil seolah senang melihat kedatanganku dan menghampiriku, digandengnya tanganku dan membawaku duduk. Tentu saja sikap Mami ini membuatku takjub, semalam beliau mengancamku dengan sangat keji tapi sekarang beliau bersiap sebaik ini, hal yang sangat bukan beliau.

Kalian tahu, alih-alih merasa senang dengan sikap Mami, aku justru merasa ada hal buruk yang akan terjadi, dan benar saja, sikap baik Mami seperti ketenangan sebelum badai menggulung dengan sangat hebatnya. Tanpa basa-basi sama sekali Mami langsung mengutarakan apa yang membuat beliau bersikap semanis ini padaku.

"Wit, kamu ada uang 200 juta, nggak? Kalau nggak ada mobilmu dijual dulu, ya. Buat nikahan adikmu, Mami sama Papi lagi nggak ada duit."

"..............."

"Anggap saja duit segitu buat ganti rugi akibat huru-hara live yang kamu lakuin. Semacam uang kompensasi atas sikap kamu yang sudah mempermalukan Lita dan Juna gitu."

Sepertinya orangtuaku bukan lagi dalam taraf sinting lagi melainkan sudah dalam taraf gila yang tidak tertolong lagi.

JUWITA (Kembaranku Perusak Bahagiaku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang